Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, mendorong agar produk unggas bisa diekspor ke negara tetangga. Menurutnya, hal itu sangat penting dilakukan agar para pengusaha bisa semakin kompetitif dan meningkatkan kualitas daya saing produknya. “Saya berharap pelaku usaha unggas jangan berebut di ‘pasar becek’ tapi berpikir tentang orientasi ekspor,” kata Ketut Diarmita saat menjadi pembicara dalam seminar yang diadakan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) di ruang Auditorium Peternakan UGM, Kamis (26/1).
Diakui oleh Ketut, tidak mudah bagi pengusaha unggas untuk bersaing dalam pasar ekspor apabila proses perlakuan terhadap hewan belum memenuhi kaidah animal welfare atau kesejahteraan hewan. “Ini artinya kita harus berbenah dari dalam, kita bisa ekspor, tapi bagaimana caranya? Ikuti kaidah internasional. Dari syarat biosafety hingga kompartemen bebas penyakit AI (Avian Influenza) serta prinsip animal welfare yang perlu diutamakan,” katanya.
Menurutnya, produk unggas Indonesia bisa menjangkau negara terdekat seperti Myanmar, Timor Leste, atau Papua Nugini. “Yang paling dekat dulu misalnya Papua Nugini. Jangan sampai dari Australia datang ke sana bawa daging, kenapa kita ke Papua Nugini tinggal ‘loncat pagar’ saja tidak bisa?,” ungkapnya.
Dikatakan Dirjen, ia terus mendorong agar pengusaha lokal di bidang perunggasan bisa melirik peluang tersebut daripada harus bersaing di dalam negeri dengan berebut pasar yang bisa berpotensi mematikan usaha peternak unggas tradisional.
Selain soal unggas, Ketut Diarmita juga menyinggung tentang harga daging sapi yang saat ini belum juga bisa turun drastis meski pemerintah telah menerapkan kebijakan impor daging. Menurutnya, harga daging belum bisa cepat turun dikarenakan produksi daging nasional belum mampu mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri.
Sekjen ISPI, Didiek Purwanto, mengatakan kebijakan impor daging yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan sementara di situasi yang tidak normal. Ia menuturkan untuk tahun ini saja diperlukan sekitar 700 ribu ekor sapi untuk bisa memenuhi kebutuhan nasional. Hal itu berdasarkan dari hitungan kebutuhan konsumsi daging sapi per kapita per tahun. “Ternak lokal hanya bisa memasok tidak lebih dari 65 persen dari seluruh kebutuhan nasional,” katanya.
Dari perhitungan Didiek, apabila 700 ribu ekor ekor sapi yang dimpor terpenuhi lalu selama empat bulan digemukkan hingga mencapai berat 150 kilogram per ekor maka akan bisa memenuhi kebutuhan nasional. “Saya kira apabila dijalankan setidaknya tidak memengaruhi jumlah populasi sapi lokal agar tidak mengalami pemotongan secara drastis. Perlu disinkronkan pengusaha tidak sekadar cari untung terus dan bisa memberikan kontribusi pada masyarakat,” katanya.
Didiek menegaskan pemerintah perlu mengawasi terhadap rencana program mendatangkan satu betina produktif dari setiap lima ekor sapi potong yang digemukkan untuk kemudian dikembangbiakkan. Meski sapi impor yang didatangkan tidak lagi dari Australia, namun Didiek menegaskan agar sapi-sapi dari luar tersebut bebas dari penyakit mulut dan kuku. “Semua sapi tersebut harus bebas dari PMK (penyakit mulut dan kuku),” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)