Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki tantangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ribuan pulau. Ribuan pulau yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia tersebut, tentunya memiliki karakteristik biogeofisik yang berbeda-beda.
Sulthani Aziz dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Sei Jang Duriangkang menyatakan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang spesifik. Karakteristik tersebut seperti panjang sungai yang relatif pendek sehingga membuat kesempatan air meresap ke dalam tanah berkurang. Akibatnya, banyak air hujan yang terbuang ke laut.
“Sementara perkembangan penduduk di pulau-pulau kecil semakin menuntut kebutuhan lahan untuk perumahan dan air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Meningkatnya jumlah penduduk dan sebaran pemukiman tersebut juga berimplikasi terhadap pemanenan air tanah,” katanya di Fakultas Geografi UGM, Selasa (31/1) saat ujian terbuka Program Doktor.
Salah satu pulau kecil di Indonesia yang telah mengalami perubahan sangat pesat dalam satu dekade adalah Pulau Bintan. Pulau Bintan merupakan sebuah pulau kecil terbesar di gugusan Kepulauan Riau.
Pulau Bintan merupakan pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Daerah ini merupakan bagian Free Trade Zone (FTZ) serta Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam, Bintan, dan Karimun. Di samping itu, Pulau Bintan saat ini masih menjadi salah satu sentra penambangan bauksit di Indonesia.
“Pulau Bintan merupakan salah satu kawasan ekonomi khusus yang dikembangkan untuk kepentingan industri dan pariwisata. Dinamika pembangunan yang cukup kompleks dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi sebagai dampak dari pembangunan bebasis ekonomi juga memiliki efek negatif bagi lingkungan di Pulau Bintan,” ujarnya.
Analisis spasial lahan kritis di Pulau Bintan pada tahun 2013 sebesar 36.827 Ha (kriteria kritis sampai sangat kritis) atau sekitar 31,45 persen dari total wilayah Pulau Bintan. Sebaran lahan kritis tersebut terus bertambah seiring dengan pembangunan infrastruktur di pulau tersebut. Sementara kondisi DAS di Pulau Bintan sebagaimana hasil evaluasi klasifikasi DAS yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS Kepulauan Riau di tahun 2014 maka seluruh DAS di Pulau Bintan termasuk dalam klasifikasi yang harus dipulihkan.
“Dalam konsep kewilayahan, pulau kecil dan DAS di pulau kecil dapat dipandang sebagai wilayah yang khusus (spesific region),” terang Sulthani.
Sulthani berpendapat pulau kecil memiliki permasalahan, potensi, peluang dan kendala yang berbeda jika dibandingkan dengan pulau kontinental. Jika dikaitkan dengan pengelolaan DAS di Pulau Bintan maka dibutuhkan konsep dan framework yang berbeda dibanding pengelolaan DAS di pulau-pulau kontinental seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
“Karena itu, untuk mewujudkan keseimbangan ekosistem Pulau Bintan sangat dibutuhkan suatu zona konservasi yang ditentukan dengan pendekatan DAS pulau kecil,” papar Sulthani saat mempertahankan disertasi berjudul Pengelolaan Pulau Kecil Berbasis Kinerja DAS di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Dalam konteks interkoneksi antar DAS, kata Sulthani, maka zona konservasi dapat dipertahankan pada zona interkoneksi hulu DAS (upper watershed interconnection zone) yang peruntukannya harus merupakan kawasan hutan. Sementara perumusan strategi pengelolaan DAS di pulau-pulau kecil seyogianya dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik DAS di pulau tersebut.
“Beberapa karakteristik yang menjadi pertimbangan tersebut, diantaranya keterbatasan dimensi, keterbatasan sumberdaya, kerentanan bencana yang tinggi, keragaman biodiversitas yang rendah dan karakteristik sosial ekonomi dan budaya penduduk yang spesifik,” tandas Sulthani. (Humas UGM/ Agung)