Kebijakan pengelolaan irigasi saat ini membagi kewenangan pengelolaan irigasi berdasar strata pemerintahan. Namun, perubahan pola kewenangan dan hubungan antar strata pemerintah tidak diiringi dengan kesiapan yang seragam di setiap strata pemerintahan untuk mengelola sistem irigasi.
Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Murtiningrum, STP., M.Eng., menyebutkan bahwa permasalahan sistem irigasi menjadi semakin kompleks dengan semakin bertambahnya pemakaian air di daerah irigasi dengan kepentingan yang beragam pula. Selain kepentingan yang beragam, penggunaan air menuntut alur informasi yang semakin cepat. Di sisi lain, perubahan iklim global memengaruhi ketersediaan air.
“Dengan berbagai perubahan itu maka prosedur operasi dan pemeliharaan (OP) pada masa itu menjadi kurang sesuai. Prosedur yang ada kurang mendukung efektivitas pelaksanaan kegiatan O&P sehingga sulit diterapkan,”urainya, Senin (30/1) di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM.
Menurutnya, pola pengelolaan sistem irigasi bersifat lokal pada tingkat pengelolaan di lapangan sangat diperlukan. Pembuatan pola manajemen irigasi ini harus mempertimbangkan dasar hukum pengelolaan irigasi. Disamping itu, juga harus memperhatikan kondisi setempat, baik alamiah, sosial budaya maupun institusi dan sumber daya manusia.
Penyusunan prosedur pengelolaan daerah irigasi dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan pengelolaan irigasi di lapangan atau day-to-day management. Prosedur pengelolaan daerah irigasi ini, dikatakan Murtiningrum, perlu dikemas dalam suatu sistem informasi sebagai pendukung pengambil keputusan di masing-masing level manajemen.
“Selain itu, untuk memberikan informasi kepada pengguna irigasi secara cepat dan tepat,” jelasnya dalam ujian terbuka program doktor prodi Ilmu Teknik Sipil FT UGM.
Murtiningrum pun bergerak menyusun sistem pendukung keputusan atau decision support system (DSS) yang berperan membantu manajemen dalam menetapkan keputusan O&P yang optimal. Dukungan bagi pengambil keputusan daerah irigasi lintas kabupaten/kota diberikan dalam bentuk database yang berisikan informasi hidrologis dan tanaman secara historis maupun model prediksi ketersediaan air dari debit sungai.
Selanjutnya, model neraca air sebagai pendukung skenario pada penentuan pola tanam dan model distribusi air. Sedangkan untuk bahasa pemrograman menggunakan PHP dan sistem database MySQL.
“DSS ini disusun berbasis web dan dapat diakses melalui telepon seluler,” ungkapnya.
Murtiningrum menyampaikan bahwa sistem pendukung keputusan yang disusun berdasarkan prosedur O&P yang berlaku telah berhasil dicoba di daerah irigasi Cokrobedog dan daerah irigasi Mrican. Keduanya merupakan daerah irigasi lintas kabupaten/kota di DIY.
Subsistem penanganan data, kata dia, mengatur akses data pada DSS sesuai strata manajemen. Subsistem pola tanam berperan menjadi ajang diskusi bagi petani dan petugas berdasarkan luaran model. Selanjutnya, subsistem alokasi air memberikan masukan debit yang harus dialirkan pada periode tertentu. Sedangkan subsistem monitoring dan evaluasi memberikan nilai kerja sesuai strata manajemen sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan berikutnya. (Humas UGM/Ika)