Penyakit infeksi oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit masih menjadi masalah utama di Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2015 memperlihatkan penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan yang penting untuk segera diatasi, seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria, kusta, diare, campak, difteri, pneumonia, cacingan, dan demam berdarah dengue.
dr. Tri Wibawa, Ph.D., SpMK dari Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran UGM menyatakan pada prinsipnya penyakit infeksi masih menjadi persoalan. Ditambah lagi, saat ini obat-obat yang ada sudah tidak lagi manjur.
Diprediksi pada tahun 2050 jumlah orang yang terkena resistensi antibiotik akan sangat tinggi. Demikian pula, kematian akibat penyakit yang tidak ada obatnya diperkirakan juga akan sangat tinggi.
“Prediksi kematian yang terkait resistensi antimikroba di tahun itu mencapai 4,7 juta per tahun di Asia, disusul Afrika, Eropa dan Amerika. Hal itu menunjukkan resistensi mikroba terhadap antibiotik menjadi ancaman yang jelas di depan mata,” ujar Tri Wibawa di Grha Alumni FK UGM, Rabu (1/2) menjelang penyelenggaraan ke-10 Annual Scientific Meeting (ASM) tahun 2017 yang mengambil tema Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba.
Tri Wibawa menjelaskan bakteri yang ada dalam diri manusia dan alam setiap saat bisa berubah sifat. Bakteri yang berubah sifat ini tidak mengenal kelompok usia sehingga bisa menyerang anak hingga orang tua.
Jika kemudian bakteri saling menimbulkan sakit-sakit yang umum pada masyarakat maka secara otomatis akan mempercepat proses resisten. Begitu pula yang sering terekspose maka semakin cepat menjadi resisten.
“Oleh karena itu, strateginya jangan memakai antibiotik kalau tidak perlu. Sementara itu, ada juga yang baru sehari memakai antibiotik, merasa sembuh berhenti, atau resep yang semestinya untuk tujuh hari, bolong-bolong memakainya, ini juga akan semakin mempercepat kembali,” ujarnya.
Senada dengan itu, dr. Egi Arguni, SpA., Ph.D berpendapat terjadinya resistensi antimikroba karena saat ini masyarakat dengan mudah mendapatkan obat-obat antibiotik di apotek tanpa melalui periksa dokter sehingga pemakaian antibiotika pun menjadi tidak terkontrol.
“Ini mungkin salah satu yang mendasari resistensi antibiotik. Individu tidak mempan lagi, kuman-kuman yang ada dalam diri individu harus dengan jenis antibiotik lain yang cukup sensitif untuk memerangi penyakit tersebut. Jika makin lama makin meluas resistensi ini nantinya di masyarakat akan timbul disaster atau bencana,” kata Egi Arguni.
Selain itu, kata Egi, yang harus dipahami tidak semua penyakit infeksi selalu disebabkan oleh bakteri. Infeksi bisa juga disebabkan oleh virus atau jamur. Penyakit yang disebabkan virus, jamur atau penyebab lain ini tentu tidak akan bisa dihilangkan dengan anti mikroba atau antibiotik. Ia mencontohkan infeksi flu saluran nafas atas yang 90 persen disebabkan virus maka antibiotik tidak diperlukan.
“Untuk itu harus bijak dan secara rasional memeriksakan ke dokter sebagai awal dan kita serahkan ke tenaga kesehatan. Mereka yang akan menentukan menggunakan antibiotika atau tidak karena itu awam juga harus diberikan edukasi yang cukup dan sebaiknya kita mengikuti aturan-aturan,” jelas Egi Arguni.
dr. Rukmono Siswihanto, M.Kes., Sp.OG(K) mengakui menggunakan obat yang tidak bijaksana memang bisa berdampak terjadinya resistensi antibiotik. Permasalahan resistensi penting diangkat karena bakteri terus berubah.
“Kecepatan kita menemukan antibiotik sangat lambat, lebih cepat bakterinya. Maka, cukup wajar akan ada suatu masa dimana Anda sakit tidak ada obatnya karena sudah resisten semua. Itulah yang kita takutkan dan sekarang ini nyaris seperti itu,” papar Rukmono.
Oleh sebab itu, penggunaan antibiotik tanpa aturan berpotensi berbahaya. Belum lagi muncul pemahaman bila antibiotik menyembuhkan penyakit, padahal antibiotik itu hanya untuk bakteri yang sensitif.
“Antibiotik dipakai dalam dua keadaan, yaitu antibiotik profilasi, untuk orang yang belum infeksi tapi diberi supaya tidak infeksi. Ini biasanya pada operasi-operasi. Kemudian antibiotik terapetik, yaitu untuk pengobatan jika seorang dokter belum mengetahui kumannya maka digunakan antibiotik brodspectrum dan tidak boleh dipakai lama-lama dan antibiotika bodspectrum yang sudah diketahui kumannya,” terang Rukmono.
Terkait penyelenggaraan ASM Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba, Prof. Dr. dr. Elisabeth Siti Herini, SpA(K) mengatakan Annual Scientific Meeting akan digelar pada 4 Maret 2017 di Fakultas Kedokteran UGM. Dengan penyelenggaraan ASM 2017 diharapkan mampu meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan komitmen serta pembuatan rencana aksi dalam upaya pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba.
Kegiatan ASM dalam rangka Dies ke-71 FK UGM, 5 tahun RS UGM dan 35 tahun RSUP Dr. Sardjito secara khusus bertujuan untuk memahami beban dan kompleksitas permasalahan penggunaan dan resistensi antimikroba. Selain itu, untuk mengindentifikasi strategi dalam penggunaan antimikroba yang sesuai dan mengidentifikasi pihak yang terkait penggunaan antimikroba mulai dari pembuatan kebijakan hingga pada masyarakat pengguna dan bagaimana kerja sama diantara para pihak.
“Tentunya ada gambaran nantinya untuk masalah infeksi ini di tempat kita, khususnya Jogja maupun Indonesia pada umumnya. Kita juga akan mengundang Menteri Kesehatan, dengan begitu semua akan tahu kebijakan pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dalam upaya penggunaan antimikroba yang sesuai,” kata Siti Herini. (Humas UGM/ Agung)