Kerajaan Karangasem merupakan salah stau kerajaan besar di Bali pada masa Bali Pertengahan/Arya. Kerajaan ini memiliki pengaruh dan wilayah kekuasaan yang luas mencakup wilayah Buleleng dan Jembrana hingga Lombok.
Dalam perkembangannya, tata spasial kota-kota di Kerajaan Karangasem mengalami berbagai dinamika. Lokasi pusat pemerintahan kerajaan ini sempat mengalami perpindahan yang diiringi dengan perkembangan fungsi-fungsi ruang yang terdapat di kawasan catuspatha.
“Tata spasial Kota Kerajaan Karangasem merupakan konfigurasi berbagai komponen yang menggambarkan hubungan timbal balik antar ruang fisik dengan kondisi masyarakat yang dipengaruhi gagasan untuk mencapai tujuan dalam kehidupannya,” papar I Gusti Ngurah Wiras Hardy, saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Teknik, Selasa (7/2).
Gagasan tersebut, dikatakan Hardy, diyakini bersumber dari pertimbangan-pertimbangan fisik dan non fisik. Pertimbangan itu dilandasi oleh kebutuhan masyarakat, nilai kearifan lokal, dan kepercayaan masyarakat yang berkembang di Kota Kerajaan Karangasem.
Tata spasial Kota Kerajaan Karangasem berwujud lingkaran konsentris yang terbagi dalam berbagai lapisan wilayah dengan catuspatha sebagai pusatnya. Berdasarkan cakupan lapisan wilayahnya, tata spasial kota kerajaan ini terbagi menjadi tiga skala, yaitu negara, kuta dan karang. Dalam tiap-tiap lapisan wilayah itu tersusun dari lima komponen dan dilandasi lima konsep turunan tata spasial kota.
Lima komponen tersebut adalah orientasi kosmologis dan topografi wilayah kota kerajaan, tata letak fungsi ruang/monumen kerajaan, tata hunian masyarakat, aksis/poros dan ragam jalan serta aktivitas masyarakat. Sedangkan lima konsep turunan yang melandasi, seperti konsep segara-gunung, kangin-kauh dan posisi Brahma, konsep kuta, serta konsep catur warna, catur wangsa, dan mandala. Berikutnya, konsep sakral-profan dan hulu/luan-teben dan konsep margi ageng dan margi alit.
“Hal ini menunjukkan upaya masyarakat kota untuk mengatur wadah kehidupannya sebagai bagian dari alam semesta dalam perwujudan ruang kehidupan yang harmonis,”jelasnya.
Menurutnya, perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem menyiratkan kesadaran masyarakat tentang gagasan untuk mencapai jagadhita yaitu kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh masyarakat dan dunia dilandasi nilai keyakinan dan kearifan lokal. Jagadhita merupakan tujuan hidup manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial, yang termanifestasi dalam berbagai perilaku, tatanan, aturan, aktivitas, dan wadah kegiatan manusia.
“Jagadhita ini tercermin dalam upaya masyarakat untuk menjaga keharmonisan hidup dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta yang diyakini sebagai jiwa yang melandasi proses terbentuknya kota dan perwujudan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem,” urai Hardy.
Meskipun dalam penerapannya mengalami dinamika sebagai upaya menghadapai perkembangan zaman dan kebutuhan. Namun, disebutkan Hardy, konsep jagadhita sampai saat ini tetap diyakini menjadi landasan tata spasial Kota Kerajaan Karangasem. (Humas UGM/Ika)