Industri farmasi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada bahan baku impor. Meski Indonesia telah memproduksi obat sendiri, hampir 95% Bahan Baku Obat (BBO) yang diperlukan harus diimpor. Namun, kini Indonesia tengah berupaya mengurangi ketergantungan pada produk impor dengan memproduksi sendiri bahan baku obat sintesis.
Adalah guru besar bidang Kimia Medisinal Organik Fakultas Farmasi UGM, almarhum Prof. Umar Anggara Jenie, yang menjadi salah satu penggagas terobosan ini. Ia merupakan salah satu peneliti UGM yang melakukan penelitian terhadap bahan baku parasetamol yang kemudian dikembangkan lebih lanjut melalui kerja sama antara dengan UGM dan PT. Kimia Farma.
“Presiden meminta kita mulai mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat, lalu dihubungkan antara universitas dengan industri untuk sintesis parasetamol. Pak Umar concern tentang hal itu dan juga ikut dalam tim itu. Sekarang mulai dirintis untuk mewujudkan itu,” ujar Prof. Dr. Marchaban, DESS., Apt., salah satu kerabat dan rekan almarhum Prof. Umar di Fakultas Farmasi, Selasa (7/2).
Marchaban menuturkan, riset almarhum dalam bidang kimia organik, khususnya dalam pengembangan obat sintesis, telah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu. Ia pun telah menginisiasi kerja sama institusional dengan berbagai universitas terkemuka di Eropa untuk mewujudkan cita-cita mencapai kemandirian obat nasional.
“Kebetulan pemikiran itu sudah lama, tapi kalau tidak didukung dengan kebijakan pemerintah kan sulit. Belakangan ini sudah difasilitasi oleh pemerintah yang menghubungkan dengan industri,” imbuhnya.
Sebelumnya, almarhum Prof. Umar juga pernah terlibat dalam kerja sama antara UGM dengan Vrije Universiteit Amsterdam yang menghasilkan satu molekul turunan dari kurkumin. Riset mengenai kurkumin, senyawa aktif yang terkandung dalam kunyit, kunir, temulawak, atau taman sejenis lainnya, diawali oleh Guru Besar Fakultas Farmasi, Prof. Dr. RM Mochamad Samhoedi, mulai tahun 1988. Setahun kemudian, Samhoedi bekerja sama dengan Prof. Timmerman dari Vrije Universiteit semakin mengintensifkan penelitiannya. Kemudian, pada tahun 1996, mendiang Prof. Umar menjadi orang yang meneruskan penelitian ini. Beliaulah yang kemudian gigih mempromosikan sintesis molekul kurkumin itu hingga memperoleh berbagai paten nasional dan internasional.
“Dulu kerja sama dengan industri farmasi dan Vrije Universiteit menghasilkan satu molekul baru turunan dari kurkumin yang dinamakan Penta Gama Vunon. Gama adalah singkatan dari Gadjah Mada, dan VU dari Vrije Universiteit. Jadi, beliau mau mengangkat nama UGM dan Vrije Universiteit bersama-sama,” ujar Marchaban.
Berkat kontribusi dan perhatiannya terhadap keilmuan, ia pun sempat diangkat menjadi Wakil Rektor UGM bidang Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Vice President of the Asian Bioethics Association (ABA), Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta Ketua Komisi Bioetika Nasional (KBN).
“Memang orang pintar, tapi mau berbagi dan mau memikirkan orang lain. Pemikiran beliau untuk kemajuan sains dan teknologi sangat hebat. Jadi, kepergian beliau memang kita merasa kehilangan,” ujarnya.
Marchaban mengenang sosok almarhum bukan sekadar sebagai seorang peneliti yang genius dan berpikiran visioner, tapi juga sebagai rekan dan guru yang baik bagi sesama peneliti serta mahasiswanya. Kini, warisan almarhum Prof. Umar dapat dirasakan oleh civitas akademika UGM serta masyarakat luas. Kontribusinya dalam mengembangkan bidang farmasi, terutama kimia medisinal serta bioetika, memberikan pijakan bagi riset lebih lanjut oleh para peneliti tanah air demi mencapai kemajuan nasional.
“Kecintaan beliau pada ilmu pengetahuan mampu membuka banyak penemuan baru yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas baik di Indonesia maupun dunia. Sumbangsih pemikiran beliau selama ini akan jadi peninggalan berharga bagi kita semua,” ucap Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D saat memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum beberapa waktu yang lalu. (Humas UGM/Gloria;foto: Firsto)