Industri peternakan menghadapi tantangan keamanan pangan dari konsumen. Manajemen produksi ternak pun akan terpengaruh dengan adanya larangan pemakaian antibiotik dan hormon pemacu pertumbuhan yang mengakibatkan aneka macam penyakit. Oleh karena itu, penggunaan zat aditif alami menjadi alternatif solusi untuk menghasilkan produk hasil ternak yang terus meningkat.
Demikian disampaikan Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA, Dekan Fakultas Peternakan UGM, pada Seminar Nasional “Spirulina Sebagai Food dan Feed Additives”, Rabu (8/2). Seminar digelar hasil kerja sama Fakultas Peternakan dengan PT. Neoalgae Indonesia Makmur.
Menurut Ali Agus spirulina sebagai agen pemacu produk daging ternak diharapkan bisa menjadi solusi maupun inovasi dalam penggunaan pakan ternak. Sentuhan penggunaan spirulina diharapkan dapat turut menyukseskan program ketahanan dan kemandirian pangan, terutama dalam hal pemenuhan daging bagi masyarakat.
“Pada dasarnya zat aditif merupakan non nutrisi yang ditambahkan pada ransum yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Selain itu, mampu meningkatkan akseptabilitas, kesehatan ternak dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas ternak,” katanya.
Di sisi lain, Dr. Eko Agus Suyono, M.App.Sc dari Fakultas Biologi UGM menuturkan spirulina merupakan ceanobakteria berupa alga hijau biru. Istilah populer adalah arthrospira yang merupakan organisme antara bakteri dan mikro alga.
“Arthrospira diisolasi sekitar 1850-an kemudian menjadi menarik pada abad 19 dengan segala potensinya dan kemudian dikomersialisasi sekitar pertengahan 1980-1990-an. Salah satu produsen terbesar spirullina adalah Cina,” kata Eko Agus Suyono.
Eko berpendapat Indonesia sebetulnya sangat potensial mengembangkan spirulina. Spirulina hidup di daerah tropis dan subtropis dan alam Indonesia mendukung untuk itu.
Budidaya spirulina di daerah tropis tidak terlalu memerlukan energi yang besar karena sinar matahari sangat cukup. Sementara pemanenan dapat dilakukan dalam waktu 3 hari dengan volume 1 gram/ liter hingga 2 gram/ liter.
“Bagaimanapun cukup menarik hasil dari spirullina ini, tidak hanya untuk food, namun juga suplemen, obat-obatan, kosmetik dan untuk energi. UGM sudah memanfaatkan untuk berbagai produk, diantaranya membuat sabun, kosmetik, biodiesel, supplemen makanan,” katanya.
Dr. Slamet Wahjudi, S.H., MKn., MBA, Komisaris PT. Neoalgae Indonesia Makmur, mengatakan produsen spirulina saat ini masih dikuasai negara-negara maju yang notabene negara subtropis. Sementara permintaan sumber nutrisi praktis bebas bahan kimia terus meningkat.
“Indonesia sebenarnya layak menjadi pioner produsen mikroalga di Asean karena sebagai negara tropis memiliki cahaya yang cukup, suhu udara yang cocok dan masih memiliki lahan nonproduktif yang belum termanfaatkan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, PT. Neoalgae Indonesia Makmur mengembangkan spirulina untuk berbagai produk, seperti untuk produk makanan, untuk pertumbuhan sapi pedaging, sapi perah, ayam broiler, udang vanamei dan ikan koi.
“Untuk pertumbuhan ayam broiler, misalnya penggunaan spirulina dapat meningkatkan bobot ayam ayam hingga 20 persen lebih cepat, menurunkan Feed Convertion Ratio (CFR), menurunkan angka kematian, menekan biaya produksi dan yang pasti bisa menggantikan peran prebiotik, vitamin mix dan mineral mix pada komposisi pakan ternak,” imbuh Slamet Wahjudi. (Humas UGM/ Agung)