Saat ini pengendalian penyakit tanaman hutan dengan pestisida masih menjadi pilihan, bahkan dalam jumlah yang berlebihan karena dinilai lebih efektif dan praktis. Dampak negatif penggunaan pestisida baru mulai menjadi perhatian setelah pengembangan hutan tanaman monokultur semakin memperlihatkan kenaikan serangan patogen yang signifikan.
“Pengendalian penyakit tanaman secara kimia menyebabkan treadmill syndrome, yaitu peningkatan masukan energi tinggi atau aplikasi pestisida yang berpengaruh negatif karena hilangnya serangga dan mikroba yang menguntungkan sehingga menimbulkan serangan hama penyakit sekunder,” ujar Asri Insiana Putri saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Rabu (8/2) di Fakultas Kehutanan UGM.
Karat tumor (gall rust) yang disebabkan oleh jamur jenis Uromycladium falcatarium merupakan salah satu penyakit yang sangat berbahaya bagi tanaman sengon yang banyak tumbuh di hutan rakyat. Dampak penyakit tersebut pada tanaman sengon sangat luas, mulai dari menghambat pertumbuhan sampai mematikan tanaman, dari tingkat semai hingga tingkat pohon.
Untuk memperoleh gelar doktor, peneliti di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Kementerian Kehutanan ini mempertahankan disertasi berjudul “Seleksi Genetik Falcataria moluccana Putatif Toleran Uromycladium falcatarium”. Dalam disertasinya ia meneliti pendekatan dasar strategi pemuliaan untuk meningkatkan produktivitas, yaitu seleksi buatan terhadap individu-individu tanaman. Seleksi genotip tunggal atau beberapa genotip unggul dan perbanyakan secara vegetatif tanpa melalui perkawinan merupakan dasar bagi seleksi klonal hasil ekspresi sifat yang menguntungkan penyakit tanaman.
“Dasar strategi pemuliaan modern penanggulangan penyakit terpadu diantaranya adalah dengan pendekatan bioteknologi menggunakan seleksi genetik sengon toleran karat tumor in vivo melalui inokulasi miselia atau spora patogen sebagai agen seleksi pada seluruh bagian tanaman hidup. Atau bisa juga lewat penularan melalui organ tanaman yang sudah terinfeksi penyakit dan in vitro menggunakan menggunakan filtrat patogen untuk mengetahui toleransi sengon secara fisiologis,” jelas Asri.
Melalui penelitiannya, ia membuktikan bahwa seleksi semai secara langsung in vivo dan seleksi tidak langsung sel in vitro efektif untuk mendapatkan sengon toleran karat tumor. Kultur jaringan efektif dan efisien untuk perbanyakan sengon toleran karat tumor dengan stabilitas toleransi yang tinggi dalam mendapatkan bibit secara vegetatif dengan sifat toleran dari tetua.
“Penemuan metode perbanyakan kultur jaringan ini menjadi penting ketika perbanyakan vegetatif konvensional seperti dengan stek pada sengon belum menunjukkan hal yang signifikan,” imbuhnya.
Metode ini, lanjut Asri, diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif prosedur seleksi pada pemuliaan tanaman hutan terpadu yang ramah lingkungan. Penggunaan tanaman yang toleran terhadap suatu penyakit secara ekonomi dapat mengurangi tambahan energi untuk mencegah atau menanggulangi kerusakan dan tetap menjaga keberadaan tanaman patogen di dalam keseimbangan ekosistem.
“Secara luas, dapat menjamin berlangsungnya suksesi, komposisi, distribusi, dan kelimpahan spesies serta menjaga fungsi dan struktur hutan, kondisi tapak, maupun habitat asli hutan,” kata Asri. (Humas UGM/Gloria)