Faktor demografi pemilih memiliki pengaruh dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada. Agama, suku, daerah, dan migrasi merupakan faktor demografi yang turut memengaruhi pemilih dalam pilkada, termasuk di DKI Jakarta.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar “Analisis Demografis Pilkada di Indonesia” yang diselenggarakan Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM, Kamis (9/2). Acara tersebut menghadirkan pembicara tunggal dosen Komunikasi Fisipol UGM, Kuskridho Ambardi, M.A., Ph.D.
Faktor demografi, disebutkan Dodi-panggilan akrab Kuskridho Ambardi, memegang peran penting dalam pilkada DKI. Hanya saja, faktor demografi tersebut tidak cukup untuk memenangkan pilkada.
Menurutnya, kampanye berbasis agama dan suku dapat meningkatkan dukungan. Namun, hal itu tidak dapat meningkatkan perolehan suara secara signifikan.
“Kampanye berbasis agama dan suku memang bisa menaikkan dukungan, tetapi tidak bisa mendongkrak perolehan suara hingga 50 persen. Cara ini diprediksi hanya dapat meningkatkan suara maksimal 10 persen,”urainya.
Dodi mengatakan agama dan suku menjadi isu yang banyak dan sering digunakan tiga pasangan calon gubernur dalam kampanye pilkada DKI. Sebaliknya, sosial ekonomi menjadi isu yang jarang digunakan dalam kampanye. Kelas sosial bukan menjadi isu yang diminati para kandidat.
“Tidak ada yang mengusung isu ini, padahal kelompok buruh di Jakarta jumlahnya sangat besar. Kandidat jarang yang bicara politik kelas dan tidak berusaha mengajak kelas buruh untuk mendukung mereka,” tuturnya.
Sementara di luar Pulau Jawa, isu kesukuan atau etnis merupakan faktor demografi yang paling banyak ditonjolkan dalam pilkada. Fenomena ini, disebutkan Dodi, berbeda dengan yang terjadi di tingkat nasional. Faktor demografi ternyata tidak berpengaruh dalam pemilihan presiden atau pilpres.
“Faktor demografi memang berpengaruh terhadap pilkada, tetapi tidak di tingkat nasional,”terangnya. (Humas UGM/Ika)