Isu perselisihan antargolongan yang marak diberitakan beberapa bulan terakhir memunculkan pertanyaan akan arti penting nilai-nilai Pancasila di masa kini. Di tengah situasi ini, generasi milenial memegang peranan yang penting untuk menjadi tulang punggung bangsa dalam menjaga nilai pluralisme yang menjadi salah satu pilar bangsa Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Deputi V Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Strategis Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodharwardani, saat memberikan kuliah umum di Fakultas Hukum UGM.
“Kita merasa sedih dengan kegaduhan politik yang sepertinya semakin mempertajam sikap anti kebinekaan. Dalam situasi ini, anak muda sebetulnya bisa melakukan hal yang lebih,” ujar Dani, Kamis (9/2).
Dalam kuliah umum ini, ia berbicara mengenai Bhinneka Tunggal Ika dan peran generasi muda dalam menjaganya. Kegaduhan politik yang terjadi saat ini, menurutnya, memperlihatkan situasi ketika Pancasila seolah-olah tidak lagi menjadi ideologi yang populer dan dianggap menarik. Tren ini, lanjutnya, sebenarnya sudah terlihat sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu.
“Persoalan tentang kebinekaan sudah muncul jauh sebelum peristiwa-peristiwa pada tahun 2016 kemarin. LIPI pernah melansir penelitian pada tahun 2007 silam yang memberikan gambaran bahwa Pancasila adalah sesuatu yang tidak populer lagi di kalangan mahasiswa,” jelasnya.
Ia menyebut bahwa situasi yang terjadi saat ini menunjukkan kegagalan generasi lama dalam menangani potensi pelemahan nilai kebinekaan yang telah muncul 10 tahun yang lalu. Oleh karena itu, sikap generasi muda dalam situasi yang terjadi saat ini menjadi kunci dan akan menentukan bagaimana keadaan Indonesia dalam 10 hingga 20 tahun mendatang.
“Di tengah situasi politik ini, ketika orang muda dengan ide-ide orisinal, kreativitas, idealisme, dan narasi kebaikannya? Kalau tidak memikirkan dari sekarang konsep atau tindakan yang bisa memengaruhi opini publik, dalam 10 atau 20 tahun mendatang kita pasti akan terus dibayangi warisan dari situasi yang terlambat direspons ini,” imbuhnya.
Meski demikian, ia mengaku optimis bahwa dengan idealisme dan kreativitas yang dimiliki, generasi muda dapat membuat suatu terobosan untuk mengatasi persoalan yang ada saat ini.
“Penting untuk menunjukkan bahwa ide kebaikan bukanlah sesuatu yang tidak menarik. Anak muda bisa mengemas hal-hal baik itu dengan ide kreatif dan strategi kekinian dan itu pasti bisa menjadi sesuatu yang menarik,” kata Dani.
Dalam kesempatan yang sama, dosen Fakultas Hukum UGM, Oce Madril, S.H., M.A.Dev, mengingatkan bagaimana kebinekaan telah menjadi nilai yang melekat pada bangsa Indonesia, bahkan konstitusi Indonesia pun berangkat dari keberagaman yang kemudian diterapkan dalam aturan positif. Oleh karena itu, untuk memperdebatkan kembali prinsip keberagaman ia lihat sebagai suatu kemunduran dalam perjalanan bangsa Indonesia.
“Kita sudah melewati berbagai macam fase, dan sikap saling menghargai di antara bangsa Indonesia telah terlihat di konstitusi. Kalau sekarang balik lagi memperdebatkan hal itu berarti kita flashback jauh sekali ke zaman ketika kita belum terhimpun menjadi bangsa Indonesia,” ucapnya.
Ia pun berharap agar para mahasiswa dapat berperan dalam merawat kebinekaan dengan tetap menegakkan hukum dan dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merusak tatanan yang sudah terbangun selama ini.
“Hukum harus dijadikan acuan. Kalau kita merusak keajekan ini implikasinya akan panjang karena akan mengubah norma dasar yang dengannya bangsa ini berdiri,” pungkas Oce. (Humas UGM/Gloria)