Negara setidaknya menanggung kerugian 30 triliun rupiah per tahun akibat kejadian bencana. Belum lagi, kejadian-kejadian khusus seperti kebakaran hutan dan lahan maka negara harus menanggung kerugian hingga 221 triliun. Peristiwa-peristiwa semacam ini tentu akan mengoreksi pertumbuhan nasional.
“Oleh karena itu, pengurangan risiko bencana menjadi penting. Karena sudah jelas bencana telah mengganggu pencapaian pembangunan nasional kita,” ujar Kepala BNPB, Willem Rampangilei, pada pembukaan Seminar Nasional Pengurangan Risiko Bencana, di Balai Senat, Selasa (14/2).
Willem Rampangilei merasa prihatin banyaknya korban jiwa akibat bencana. Ia mencontohkan tahun 2016 saja tercatat 516 jiwa meninggal dunia. Sementara itu, hingga Februari 2017 sebanyak 12 orang meninggal akibat longsor di Bali, belum yang di NTT dan Bitung.
“Sampang dari tahun 2015 hingga saat ini sudah 17 kali mengalami banjir. Kalau kita lihat bencana di Indonesia masih didominasi bencana hidrometeorologi,” katanya.
Selain kerugian material, bencana juga mengakibatkan kerugian bersifat immaterial. Bahkan, untuk memulihkan dampak psikologisnya sangat lama sehingga berakibat seseorang akan terganggu kehidupan sosialnya. Semua akan terganggu hingga pada kerusakan lingkungan, padahal untuk merehabilitasi lingkungan perlu waktu yang sangat lama.
Menurut Willem, perlu waktu ratusan tahun untuk memulihkan flora dan fauna akibat bencana. Beberapa bencana pun mengakibatkan masalah antar negara seperti bencana asap.
“Oleh karena itu, kita perlu melakukan sesuatu dan itulah gambaran sekilas pandang melihat Indonesia dari aspek kebencanaan. Kecenderungaan kedepan frekuensi dan intensitasnya akan meningkat,” tuturnya.
Kajian BNPB menunjukkan laju degradasi lingkungan lebih cepat daripada laju pemulihan yaitu sebanyak dua setengah kali lipat. Kondisi ini menjadikan BNPB melihat kedepan sebagai tantangan yang tidak lebih ringan.
Belum lagi, akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi, laju pembangunan dan ketidakseimbangan tata ruang, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terjadinya bencana. Karena itu, dibutuhkan ruang hidup lebih banyak, perilaku, dan kesadaran masyarakat.
“Kalau dikatakan perilaku ini sebenarnya bukan hanya masyarakat, semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan ini, ada tiga yang utama, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha,” imbuhnya.
Banjir di Bima, kata Willem, sebanyak 90 persennya berdampak pada kehidupan ekonomi sehingga kehidupan masyarakat lumpuh total kurang lebih 1 bulan. Dari peristiwa tersebut bisa dibayangkan kerugian yang harus ditanggung.
Oleh karena itu, bicara penanggulangan bencana maka disana ada pra bencana, yaitu disaster risk reduction, bagaimana dilakukan berbagai upaya pengurangan risiko bencana. Setelah itu, baru melakukan pengurangan dampak akibat bencana.
“Sementara saat terjadi bencana maka tanggap darurat dilakukan secara cepat untuk menyelamatkan jiwa manusia, mengurangi kerugian dan lain-lain sehingga kita segera masuk ke dalam tahap pemulihan, dan itulah penanggulangan bencana,” jelasnya.
Willem Rampangilei menandaskan penanggulangan bencana sangat kompleks dan multidimensional. Tidak hanya itu, bencana juga multi stakeholders dan multi disiplin ilmu. Dalam kondisi bencana dibutuhkan dokter, ahli jiwa, ahli remote sensing, ahli hukum dan lain-lain.
“Sedemikian kompleks penanggulangan bencana. Artinya, penanggulangan bencana tidak mungkin hanya dilakukan pemerintah, penanggulangan bencana is every one business, bencana adalah urusan kita bersama,” tandasnya.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengungkapkan jika di tahun 1960 sebanyak 85 persen penduduk Indonesia tinggal di desa-desa. Kondisi ini berkebalikan di tahun 2015 hingga sekarang ketika sebagian besar masyarakat desa banyak melakukan urbanisasi sehingga mereka yang tinggal di desa hanya 46 persen.
Celakanya, mereka yang tinggal di desa adalah orang-orang yang telah berusia lanjut. Belum lagi, tidak sedikit dari mereka adalah janda-janda dan miskin. Hal ini tentu menjadikan situasi daerah tersebut menjadi rawan terhadap pengurangan risiko bencana karena siapa yang akan menolong jika terjadi bencana.
“Atas kondisi tersebut UGM bertanggungjawab mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, dan UGM bertekad mengembangkan smart and resilience village. Smart and Resilience Village ini dibangun melalui inovasi pengembangan sumber daya manusia, inovasi riset dan hilirisasi. Riset-riset yang akan dikembangkan antara lain riset kebencanaan untuk mengurangi risiko bencana,” katanya.
Dirjen Pembangunan Daerah Tertentu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP ., menambahkan dari 120 daerah tertinggal, sebanyak 95 desa merupakan daerah rawan bencana. Karena itu, mau tidak mau banyak pihak harus serius dalam konteks kebencanaan yang harus ditangani secara benar-benar dan serius.
“Jadi, salah satu karakteristik ketertinggalan itu adalah rawan terhadap bencana. Bagaimanapun juga kerawanan ini membutuhkan pengurangan risiko bencana. Untuk itu, kami butuh kerja sama termasuk pemanfaatan dana desa yang demikian besarnya untuk penguatan kapasitas masyarakat desa dan infrastruktur. Untuk pengurangan risiko bencana dan sebagainya maka kolaborasi kementerian Desa, BNPB, dan teman-teman perguruan tinggi serta pemerintah daerah sangat dibutuhkan,” tuturnya.
Seminar Nasional Pengurangan Risiko Bencana digelar atas kerja sama Universitas Gadjah Mada dan GNS Science, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan didukung Kedutaan Besar New Zealand dan New Zealand Aid Programme. Seminar berlangsung selama tiga hari, 14-17 Februari 2017, dihadiri sejumlah narasumber diantaranya Duta Besar New Zealand untuk Indonesia, trevor Matheson, Dirjen Risiko Bencana BNPB, Lilik Kurniawan dan lain-lain. (Humas UGM/ Agung;foto: Firsto)