Harus diakui masih banyak perbedaan dalam memberikan fasilitas bagi penyandang difabel di negara-negara berkembang dan negara maju. Meski begitu, Universitas Gadjah Mada patut berbangga karena hingga saat ini masih dinilai sebagai perguruan tinggi peduli difabel.
Demikian disampaikan Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D, Wakil Dekan Fakultas Peternakan UGM, dalam Seminar bertema “Mewujudkan Aksesibilitas dan Layanan bagi Difabel Menuju Terbentuknya Perguruan Tinggi Inklusif” di Grha Sabha Pramana, Jumat (17/2). Seminar digelar oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UGM dengan menghadirkan pembicara sekaligus penyandang disabilitas, M. Zulfikar Rahmat, MA., Ph.D, kandidat doktor dari University of Manchester, Inggris.
“Beberapa fakultas pun saat ini sudah melonggarkan syarat bagi penyandang difabel untuk bisa kuliah di UGM. Fakultas Peternakan UGM sudah mulai menerima dan untuk bimbingan saya tangani langsung karena jika terjadi apa-apa biar lebih mudah,” ujar Budi Guntoro.
UGM membuka lebar dalam persyaratan menjadi mahasiswa baru bagi difabel setidaknya telah dilakukan sejak tahun 2015. Namun demikian, tidak menampik realitas bila di beberapa program studi eksakta sesungguhnya masih mengganjal. Hal itu disebabkan karena untuk praktik lapangan dan praktik di laboratorium mahasiswa difabel banyak mengalami kendala.
Oleh karena itu, kata Budi Guntoro, fakultas-fakultas sebaiknya sedikit demi sedikit meningkatkan jumlah mahasiswa difabel. Sebab, dengan begitu para pengelola dan dosen-dosen akan semakin memiliki pengalaman dalam berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa penyandang keterbatasan fisik.
“Saya pun terkesan dengan mas Zulfikar berkat kerja keras, semangat, dan dalam kondisi keterbatasan meraih kesuksesan melebihi orang-orang normal. Saya kira juga begitu siapapun juga jika ulet dan memiliki motivasi tinggi pasti akan mampu meraih cita-citanya,” paparnya.
M. Zulfikar Rahmat, sebagai penyandang disabilitas, tidak terlalu berharap muluk-muluk terhadap terbentuknya perguruan tinggi yang inklusif. Baginya memperbaiki pendidikan tingkat dasar yang mau menerima penyandang keterbatasan fisik sudah cukup.
“Masa kecil saya cukup menyakitkan, ketika banyak sekolah dasar menolak saya untuk bisa sekolah. Saya tidak bisa berjalan sempurna, tidak bisa bicara jelas, dan tidak bisa menulis, baru setelah menghadap Walikota Semarang saya bisa sekolah di Al Azhar,” terang Zulfikar.
Bersekolah SMA di Qatar, Zulfikar mengaku merasakan dunia pendidikan yang sangat berbeda. Ia tidak lagi dibuli dan diolok-olok sama teman-temannya, justru sebaliknya ia mendapatkan dukungan.
“Tidak ada lagi yang menertawakan saya, apalagi mengolok-olok sehingga nilai saya meningkat. Saya simpulkan secara teori kondisi pertemanan membawa dampak terhadap prestasi akademis seseorang,” katanya.
Sementara itu, Mukhanif Yasin Yusuf, S.S., selaku ketua panitia seminar, berharap kegiatan ini bisa memberikan gambaran tentang bagaimana menerima dan memfasilitasi difabel di perguruan tinggi untuk mewujudkan perguruan tinggi yang inklusif. Melalui pemaparan dari para narasumber diharapkan mengetuk banyak perguruan tinggi terbuka untuk kaum difabel.
“Hal lain, kegiatan ini sebagai pijakan untuk menyiapkan rencana simposium nasional perguruan tinggi inklusif yang melibatkan Kemenristekdikti,” ujar Mukhanif.
Mukhanif menjelaskan fasilitas untuk para difabel ada 2, yaitu fisik dan non fisik. Fasilitas fisik dapat dilihat dari aksesibilitas yang bersifat fisik, seperti ramp, lift, dan lain-lain. Namun, karena telat dalam hal isu difabel maka bangunan-bangunan publik, termasuk kampus-kampus terlihat masih belum aksesibel secara fisik. Oleh karena itu, aksesibilitas non fisik diharapkan menjadi alternatif. Misalnya, mahasiswa yang memakai kursi roda bisa dibuat kebijakan kuliah di lantai satu.
“Ini namanya aksesibilitas non fisik. Jadi, kalau bilang untuk memfasilitasi difabel itu mahal harus dibangun lift lebih dulu dan lain-lain, saya kira dengan kebijakan seperti ini lebih murah,” jelasnya. (Humas UGM/ Agung)