Penanggulangan banjir merupakan salah satu bagian dari pengelolaan sumberdaya Air. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pengelolaan sumberdaya air dalam satu daerah aliran sungai ataupun satu wilayah sungai harus dilakukan secara terpadu (integrated water resources management), terkait dengan siklus hidrologi, sejak air hujan jatuh ke bumi, meresap kedalam tanah, menguap, mengalir di permukaan dari hulu sampai ke hilir, hingga tiba di muara sungai dan bercampur dengan air laut. Dengan begitu, satu kejadian di salah satu bagian, baik di hulu maupun di hilir, akan berpengaruh ke bagian lainnya sehingga banyak sektor yang saling terpengaruh.
Pakar teknik sumberdaya air UGM, Prof. Dr. Ir. Budi Santoso Wignyosukarto , Dip.HE., menilai walaupun Jakarta sudah menormalisasikan sungainya, tetapi bagian hulunya tidak dikendalikan limpasan hujannya, ataupun Jakarta tidak dapat mengendalikan ekstraksi air tanahnya sehingga subsidence muka tanahnya tidak terkendali, banjir akan tetap terjadi di Jakarta. Apalagi, apabila kapasitas sungainya mengecil.
Keadaan ini akan diperparah pada saat elevasi muka air tempat pembuangan air sungai, di pantai utara Jakarta, semakin lebih tinggi dari muka tanah Jakarta utara (akibat penurunan muka tanah yang berlebihan atau pun karena kenaikan muka air laut, efek perubahan iklim). Akibatnya, akan semakin kecil kapasitas pembuangan sungai-sungai di Jakarta ke laut, kecuali dibantu oleh pompa.
“Jadi, penyelesaian banjir Jakarta harus dipikirkan bersama oleh berbagai sektor. Kita harus bekerja sama agar terbebas dari penderitaan tergenang air, terhambat kegiatan ekonomi, dll,”urainya, Rabu (22/2).
Menurut Budi banjir dan kekeringan memang seperti dua sisi mata uang. Kalau suatu saat jumlah limpasan air terlalu besar dan terjadi banjir, berarti air yang diresapkan ke bumi semakin sedikit sehingga cadangan air di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan di waktu musim kemarau juga akan semakin sedikit. Oleh karena itu, perlu keterpaduan antara upaya konservasi air, upaya pemanfaatan air serta pengendalian banjir.
Kombinasi tanggul dan pompa, yang dikenal sebagai konsep polder dapat dipakai untuk mengatasi banjir di beberapa tempat yang elevasi muka air tanahnya lebih rendah daripada muka air laut. Pada polder-polder tersebut proses pengelolaan airnya dipisahkan dari daerah yang mempunyai muka tanah yang lebih tinggi dari muka air laut.
Budi juga melihat di daerah yang sangat landai seperti Jakarta, energi yang mengalirkan air ke muara ditentukan oleh elevasi muka air di hulu dan elevasi muka air di laut, dan kemiringan ini sangat kecil. Dengan begitu, pada saluran drainase di daerah yang sangat kecil kemiringan energinya, kapasitas saluran dapat ditingkatkan dengan memperlebar saluran bukan memperdalam saluran.
“Semakin padat pemukiman, semakin sedikit daerah resapan atau daerah genangan (untuk menunda air masuk ke sungai) maka akan semakin besar jumlah air yang harus segera dibuang,”pungkas Budi (Humas UGM/Satria)