Fakultas Peternakan UGM menyelenggarakan Musyawarah Nasional Pemerintah, Pengusaha Ternak, Asosiasi Peternak Petelur, dan Peternak Petelur, Kamis (23/2) di Fakultas Peternakan UGM. Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof.Dr.Ir. Ali Agus, DAA, DEA., menyebutkan acara ini diadakan sebagai respons atas kondisi keterpurukan peternakan ayam telur yang sudah berlangsung selama kurang lebih dua tahun.
“Kami berupaya melakukan mediasi antara pihak-pihak yang terkait karena kondisi peternakan ayam telur sudah tidak kondusif dalam 2 tahun ini. Kita harus bersama-sama memikirkan formula solusi apa yang ideal bagi kita semua,” ujarnya di sela-sela penyelenggaraan Musyawarah Nasional ini.
Ali Agus yang menjadi moderator dalam musyawarah ini mengaku banyak mendengar keluhan dari para peternak terkait berbagai persoalan yang muncul, diantaranya terkait harga pakan dan Day Old Chick (DOC) yang tinggi, sementara harga telur terbilang rendah. Harga pakan komplet untuk layer saat ini berkisar antara Rp4.800-5.000/ kg dan harga DOC kini sebesar Rp4.750, sementara harga jual telur hanya berkisar Rp14.700 bahkan pernah mencapai Rp13.500/kg. Angka ini masih jauh di bawah Break Even Point (BEP) yang berada pada angka Rp16.000.
Harga pakan yang tinggi, menurut Ali, dipicu oleh tingginya harga jagung yang menjadi salah satu bahan penyusun pakan ternak layer akibat pembatasan impor jagung oleh Kementerian Pertanian. Pada akhir tahun 2015 lalu, harga jagung sempat mencapai Rp7.000/kg, sedangkan harga saat ini berkisar antara Rp3.600-3.800/kg.
“Diantara pelaku usaha memang salah satu tantangan yang dihadapi berkaitan dengan bahan baku dari jagung. Menurut pemerintah, kita sudah swasembada jagung maka kemudian impor ditutup. Tetapi, ternyata kondisinya tidak demikian dan harga jagung jadi melambung,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kondisi keterpurukan saat ini memunculkan kecurigaan dari peternak bahwa ada permainan harga yang dilakukan oleh pengusaha pakan ternak yang biasanya juga sekaligus menjadi peternak atau perusahaan yang dikenal dengan istilah perusahaan integrator. Pakan ternak dan DOC yang beredar di kalangan peternak diproduksi oleh perusahaan besar, seperti Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Wonokoyo, dan Malindo.
Komentar bernada kritik terhadap kebijakan pemerintah juga disampaikan oleh para peternak. Di hadapan Direktur Budi Daya dan Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Dr. Ir Surahman Suwandi, MP., serta beberapa pejabat dari dinas terkait, para peternak mengeluhkan minimnya tindakan dari pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada.
“Kami mohon kepada pemerintah untuk bisa mengawasi dan mengatur dengan baik. Kalau kondisinya masih seperti sekarang ini ke depan bagi peternak akan lebih sulit,” ujar Mujali, salah satu peternak ayam petelur dari Blitar.
Terkait kondisi ini, Ali Agus berkomentar bahwa aksi pemerintah memang masih belum tampak dirasakan nyata dengan regulasinya sehingga kepercayaan terhadap pemerintah juga semakin menurun. Oleh karena itu, menurut Ali, Fakultas Peternakan UGM sebagai institusi pendidikan yang dianggap berada pada posisi netral berinisiatif untuk mempertemukan berbagai elemen tersebut demi mempertahankan kelangsungan peternakan ayam petelur berbasis kerakyatan. Hal ini sesuai dengan mandat didirikannya UGM untuk memberikan kemanfaatan bagi kemanusiaan serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan.
“Harapannya akan ditemukan jalan tengah yang dapat menurunkan ketegangan antara peternak rakyat dengan perusahaan integrator dan juga menguatkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dengan munculnya komitmen untuk win-win solution,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)