National University of Singapore (NUS) dan Fakultas Ilmu Budaya UGM meluncurkan Contemporary Wayang Archive (CWA) di Auditorium FIB UGM, Gedung Poerbatjaraka pada Sabtu (25/2). Peluncuran website dihadiri para dalang profesional, yakni Ki Enthus Susmono, Ki Jlintheng Suparman, Ki Nanang Hape, Ki Catur “Benyek” Kuncoro, dan Ki Aneng Kiswantoro. Contemporary Wayang Archive merupakan website yang berisi kumpulan pertunjukkan-pertunjukkan wayang kontemporer. Situs CWA juga memuat beragam informasi terkait pertunjukkan, terjemahan beserta berbagai catatan-catatan dalam pertunjukkan wayang.
CWA memiliki beragam fitur unggulan dalam pengarsipan wayang kontemporer. Pada laman CWA terdapat fitur pencarian yang dapat menelusuri semua jenis kata di dalam sub-judul (terjemahan) baik dalam bahasa aslinya (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia) maupun bahasa Inggris. Selain itu, keunggulan dari situs CWA yakni terdapat terjemahan dalam bahasa Inggris sehingga memudahkan penonton dari luar negeri menikmati setiap arsip pertunjukkan wayang kontemporer dari Indonesia. Bahkan, dalam bahasa Jawa dan Indonesia, penutur bisa menggunakan lebih dari 40 sebutan nama yang mewujudkan pebedaan status kekerabatan dan tingkat keakraban.
Sementara itu, situs CWA juga dilengkapi berbagai catatan yang menjelaskan berbagai permainan kata, kalimat sindiran, kiasaan, kultur dan historis, serta ekspresi multitafsir. Terdapat tanda kurung siku dalam terjemahan yang mengacu pada urutan catatan pada kotak catatan pada samping video. Kaprodi S1 Sastra Inggris UGM, Adi Sutrisno, M.A., mengapresiasi diluncurkannya situs CWA. Menurutnya, situs CWA akan menjadi jendela dunia bagi masyarakat internasional yang ingin mempelajari tentang wayang kontemporer
Hadirnya CWA juga mendapat apresiasi dari para pembicara yang dihadirkan dalam peluncuran situs tersebut. Ki Nanang Hape misalnya, sangat mengapresiasi adanya arsip wayang kontemporer lewat situs CWA. Pasalnya, menurut Ki Nanang Hape, banyak dalang yang tidak telaten bahkan belum sempat mendokumentasikan setiap pertunjukkan wayang yang ditampilkan.
“Kami para dalang bukannya tidak ingin mendokumentasikan karya wayang yang dipertunjukkan, melainkan energi kami telah banyak tercurah dan fokus pada konten serta aspek pertunjukkan wayang sehingga belum sempat melakukan pendokumentasian,” tegas Ki Nanang Hape.
Dengan adanya situs CWA diharapkan pada setiap pementasan wayang nantinya dapat terdokumentasi dan terarsipkan. Dengan demikian, karya para dalang tetap dapat dinikmati dari waktu ke waktu. “Wayang tidak akan mati dan akan hidup dari masa ke masa. Itu lah kehebatan wayang Indonesia,” tutup Ki Enthus Susmono. (Humas UGM/Catur)