Agama Baha’i di beberapa negara dalam perkembangannya masih mengalami diksriminasi. Tidak hanya itu, gerakan Baha’i ini tidak lepas dari marginalisasi, tekanan politik, penindasan, dan berbagai persoalan lainnya, termasuk di negara Thailand.
Pengamat Baha’i Indonesia dan Asia Tenggara, Amanah Nuris, menyebutkan bahwa gerakan agama Baha’i di kalangan kaum petani di Yasothon, Thailand Utara disimbolkan melalui hadirnya lembaga pendidikan yakni sekolah Santitham. Sekolah ini hadir untuk mempromosikan ajaran dan nilai-nilai agama Baha’i tentang perdamaian dan nilai-nilai pembebasan.
Sekolah Baha’i, Santitham, mempunyai program-program dan kurikulum yang progresif terhadap perubahan sosial. Selain itu, juga pada gerakan pertahanan untuk melawan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi.
“Sekolah ini menawarkan kurikulum teologi pembebasan yang sangat relevan bagi orang-orang termarginalkan dari penindasan politik, sosial, dan ekonomi di Thailand seperti pada kasus para petani di Yasothon,” paparnya, Rabu (1/3) saat ujian terbuka program doktor Indonesian Consortium For Religious Studies (ICRS) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Menurutnya, komunitas Baha’i sebagai organisasi keagamaan minoritas di Thailand mampu menyerap dan berasimilasi dengan budaya dan tradisi lokal masyarakat Thailand Utara. Kehadiran sekolah Baha’i, Santitham, memberikan kontribusi penting bagi masyarakat petani sebagai alat kekuasaan atas pengetahuan untuk melakukan gerakan perlawanan secara halus dan sistematis dalam jangka panjang.
Sekolah ini mengajarkan siswa kemampuan akademik, kecerdasan intelektual, kesadaran sosial untuk membantu orang lain, sekaligus pengetahuan ekonomi, dan keberanian moral dalam membela kesetaraan dan keadilan. Tidak hanya mengajar tentang kapital materi tetapi juga rohani yang mampu menggembirakan siswa, guru, dan staf sekolahan.
“Keberadaan sekolah Baha’i juga mendapat respons positif dari pemerintah dan penduduk setempat,”ujarnya.
Dikatakan Amanah Nuris, kaum petani di Yasothon menerima ajaran Baha’i karena sejak awal berdirinya telah membela masyarakat kecil dari penindasan politik dan ekonomi. Sebagai gerakan sosial dan keagamaan, komunitas Baha’i memiliki fokus yang sama untuk mengatasi masalah kemiskinan global yang terjadi di negara-negara berkembang termasuk Thailand. Baha’i menjadi gerakan keagamaan kontemporer di kalangan kaum petani dengan menjunjung nilai dasar kebebasan beragama, perdamaian, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan kesejahteraan ekonomi.
Mempertahankan disertasi “Baha’i dan Perlawanan Kaum Petani di Thailand”, Amanah Nuris menyampaikan gerakan agama Baha’i di Thailand Utara merupakan produk baru dari teologi pembebasan dalam konteks Asia Tenggara. Sementara berdasarkan ajaran dan keyakinan, gerakan organisasi Baha’i menunjukkan adanya kategori sebagai gerakan baru mileniarisme. Baha’i percaya bahwa di masa depan akan ada tatanan dunia baru sesuai dengan nilai filosofi Baha’i. Semua bangsa dan manusia akan menjadi bersatu tanpa ada batasan identitas sosial, ekonomi, etnisitas, bahasa, suku, agama, ras, dan lainnya.
Meskipun agama Baha’i berkomitmen untuk pendidikan keterampilan, kesejahteraan ekonomi, kesetaraan gender, dan gerakan sosial yang mendukung persatuan umat di dunia. Namun, menurut Amanah Nuris negara-negara anggota ASEAN harus memberikan jaminan sosial, agama, ekonomi, dan budaya untuk seluruh warga negara ASEAN termasuk penganut Baha’i. Pasalnya, agama-agama minoritas seperti Baha’i sangat rentan konflik dan seringkali menjadi korban kekerasan.(Humas UGM/Ika)