Bangunan pendopo kuno di kawasan Kotagede, Yogyakarta, potensial untuk ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dan dipromosikan sebagai kawasan cagar budaya internasional. Namun, sebagian pendopo tersebut saat ini sudah beralih fungsi dan tidak lagi diperuntukkan untuk menjaga nilai-nilai tradisi tradisional masyarakat sekitar, namun sudah difungsikan sebagai bagian dari tempat tinggal dan gudang bagi pemiliknya. Bahkan, ada juga yang diperjualbelikan.
Hal itu dikemukakan oleh peneliti dan pemerhati bagunan cagar budaya dari Jepang, Prof Kunihiko Ono. Dosen Cyber University, Jepang, itu mengatakan pemanfaatan pendopo di Kotagede tidak lagi difungsikan secara optimal seperti di masa lalu. Di masa lalu, bangunan sebagai simbol status kelas masyarakat menegah ke atas ini diperuntukkan untuk kegiatan pementasan, ruang pertemuan, dan acara seremonial. “Awalnya digunakan tempat pertemuan antar warga masyarakat di situ dan tempat untuk berekspresi (pentas seni),” ujar Ono dalam sebuah diskusi pemaparan hasil risetnya tentang keberadaan pendopo Kotagede di Pusat Studi Pariwisata UGM, belum lama ini.
Hasil penelitiannya pada 27 rumah di Desa Jagalan yang memiliki 27 pendopo, sebagian besar tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan tradisi atau upacara tradisional, namun dimanfaatkan sebagai tempat tinggal kehidupan sehari-hari. Penggunaan pendopo sebagai wahana kegiatan tradisional tersebut saat ini bahkan sudah menurun. Perubahan fungsi pendopo tersebut, kata Ono, tergantung dengan kemauan si pemilik. “Penggunaan pendopo dengan pemiliknya sangat erat sekali. Tergantung si pemilik dalam menggunakan fungsi pendopo tesebut,” tuturnya.
Meski begitu, selama bangunan pendopo masih digunakan sebagai tempat tinggal dan dimanfaatkan untuk kegiatan lain, menurutnya, tidak masalah selama tidak merusak struktur konstruksi bangunan. “Justru, bangunan kuno cepat rusak apabila tidak ada penghuni sama sekali,” imbuhnya.
Persoalan semacam ini, kata Ono, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di Jepang meski pemerintah telah menetapkan 110 ribu benda cagar budaya. Meski benda cagar budaya itu dilindungi namun pemerintah mempermudah bagi pemilik untuk memanfaatkannya dengan baik. “Misalnya digunakan untuk tempat perdagangan, kafe, atau restoran atau tempat wisata,” katanya
Menurutnya, keseimbangan terhadap pengembangan benda cagar budaya dengan pelestariannya bisa berjalan dengan baik. Namun, agar bangunan kuno ditetapkan sebagai cagar budaya setidaknya masih memiliki nilai-nilai tradisi yang dipertahankan dan nilai-nilai tersebut tidak ditemukan di tempat lain. “Di Indonesia baru yang saya tahu ada 26 daftar cagar budaya, termasuk di dalamnya kompleks Kraton Yogyakarta,” katanya.
Dosen Arsitektur UGM sekaligus pemerhati bangunan cagar budaya, Yoyok Wahyu Subroto, Ph.D., mengatakan bangunan kuno di Kotagede memang potensial untuk dijadikan cagar budaya namun harus dinilai dari tingkat keaslian dan identitas yang masih dimiliki bangunan tersebut. Persoalan perubahan fungsi banguan kuno untuk kepentingan pemilik, menurutnya, merupakan keniscayaan yang harus dihadapi. “Perubahan itu keniscayaan. Masyarakat Kotagede juga berubah dari sisi kebutuhan dan lingkungan sekitar bangunan yang seharusnya ikut juga melestarikan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)