Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM menargetkan penambahan staf pengajar atau dosen bergelar doktor. Sebab, saat ini FIB masih kekurangan sekitar 10 dosen bergelar doktor.
“Persoalan dosen dengan gelar doktor ini menjadi target institusional FIB,” kata Dekan FIB UGM, Dr. Wening Udasmoro, M.Hum, DEA., Jum’at (3/3) saat menyampaikan Laporan Kerja Dekan dalam rapat senat terbuka peringatan Dies Natalis FIB ke-71 di kampus setempat.
Wening menyebutkan sejak tahun 2012-2017 terdapat perkembangan signifikan terkait jumlah doktor di FIB. Jumlah ini merangkak naik dari 34 orang (25,95%) menjadi 66 orang (43,14%). Meskipun begitu, jumlah tersebut belum mampu mencukupi untuk mengisi batas minimal dosen di setiap program studi. Selain itu, pada 2017 ini, Kajian Timur Tengah akan bergabung kembali di FIB sehingga harus menyiapkan setidaknya enam dosen bergelar doktor di program ini.
“Untuk memenuhi kebutuhan tersebut hanya ada satu hal yang bisa dilakukan yaitu meningkatkan status para dosen dari yang belum doktor untuk segara melanjutkan studi ke jenjang doktoral,”tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Wening juga akan menggenjot penelitian dan publikasi di FIB. Para doesn didorong untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian serta memublikasikan penelitian yang telah dilakukan dalam berbagai jurnal nasional dan internasional.
“Harapannya jumlah publikasi akademisi FIB dapat meningkat perlahan-lahan pada jenjang reputasi yang semakin luas,” katanya.
Wening menjelaskan saat ini FIB juga berupaya untuk mengimplementasikan kebijakan afirmatif UGM untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia termasuk di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Affirmative action ini dalam tahap awal diarahkan bagi calon mahasiswa program pascasarjana dan diikuti dengan usaha membuka jalan agar program ini dapat dilakukan pada calon mahasiswa program sarjana di masa mendatang.
“Kita berharap affirmative action ini bisa segera dilakukan secara konstruktif,”harapnya.
Pidato Ilmiah Dies
Sementara itu, dalam acara tersebut juga disampaikan Pidato Ilmiah Dies Natalis oleh Guru Besar FIB, Prof. Dr. Faruk, S.U. Dalam pidatonya, Faruk mengatakan jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia semakin tergerus seiring globalisasi. Ia menilai dalam menghadapi revolusi gelombang ketiga, masyarakat dan kebudayaan Indonesia bisa kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kontrolnya terhadap euforia terhadap perbedaan yang terus berkembang.
“Mereka dapat menjadi korban ledakan informasi sehingga subjektivitas mereka pecah berkeping-keping. Demikian pula nasionalisme dan bahkan mungkin negara dan bangsanya,” terangnya.
Menurutnya, revolusi gelombang ketiga ini bisa membuat Indonesia menjadi tidak pernah keluar dari rentang panjang sejarah yang menegakkan kebangsaan. Namun, dengan sikap visioner, sabar, dan terkendali dapat membebaskan Indonesia dari belenggu sejarah itu.
“Oleh karena itu, penting untuk segera dirancang sebuah strategi kebudayaan dalam menghadapi, menangani, dan mengendalikan perubahan revolusioner tersebut,”tegasnya.
Menyampaikan pidato ilmiah “Krisis Nasionalisme: Sebuah Renungan Strategis”, Faruk menekankan pentingnya upaya membangun nasionalisme. Usaha membangun nasionalisme Indonesia menjadi realitas kultural yang harus bermula dari pemerintahan yang juga nasionalis. Membangun nasionalisme juga dapat dilakukan dengan penegakkan hukum secara adil, tidak pandang bulu, serta tidak tebang pilih.
“Jika persoalan nasionalisme tidak ditangani dengan pandangan jauh ke depan, hanya dengan cara instan dan tambal sulam maka Indonesia hanya akan berjalan di tempat dan krisis akan selalu datang berulang,”pungkasnya. (Humas UGM/Ika).