Negara-negara Asia Tenggara berkontribusi terhadap 18,8 juta jumlah tenaga kerja migran pada tahun 2013, dengan 6,5 juta di antaranya bergerak di dalam wilayah ASEAN. Meski jumlah ini semakin meningkat, isu buruh migran tetap menjadi isu klasik yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah nasional maupun ASEAN sebagai organisasi kawasan.
“ASEAN belum menunjukkan komitmen terhadap kepentingan buruh migran. Persoalan buruh migran belum masuk dalam regulasi ASEAN dan yang diatur selama ini hanya pekerja white collar,” ujar dosen Jurusan Sosiologi UGM Dana Hasibuan, M.A. dalam kegiatan Bincang ASEAN, Jumat (3/3) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM.
Kegiatan ini merupakan acara diskusi rutin dua mingguan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian ASEAN untuk mendiseminasi topik-topik terkait ASEAN dan membawa ASEAN lebih dekat kepada masyarakat. Dalam diskusi kali ini, Bincang ASEAN mengangkat tema “Migration-Development Nexus: Buruh Migran Indonesia dan Masyarakat Ekonomi ASEAN.”
Dalam diskusi kali ini, Dana mengulas kembali hasil penelitian yang pernah ia lakukan beberapa waktu yang lalu di Wonosobo dan Lombok Timur, dua daerah yang paling banyak berkontribusi terhadap jumlah buruh migran di Indonesia. Ia mengajak para peserta diskusi untuk memahami isu buruh migran dari perspektif yang berbeda. Persoalan buruh migran, termasuk di antaranya masalah tenaga kerja ilegal dan kekerasan yang mereka alami menunjukkan akar masalah sesungguhnya yang terjadi dalam sistem pembangunan.
“Bicara tentang buruh migran bukan hanya bicara mengenai aspek keluarga dan aspek ekonomi. Kita juga perlu berbicara tentang pembangunan politik lokal, nasional, dan global,” jelasnya.
Dana menjelaskan tenaga kerja ilegal memang lebih rentan menjadi korban kekerasan karena mereka tidak memiliki jaring pengaman yang dapat melindungi mereka dari perlakuan yang tidak semestinya. Meski demikian, banyak warga desa yang tetap memilih untuk menjadi buruh migran secara ilegal demi mengumpulkan penghasilan yang lebih besar.
“Banyak yang tetap memilih ilegal karena gajinya lebih besar, tidak dipotong-potong lagi oleh perusahaan. Memang ada alasan yang lain, tetapi sejauh yang kami tangkap itu menjadi salah satu alasan mereka,” kata Dana.
Kondisi pembangunan di desa mereka yang relatif rendah, lanjut Dana, membuat para buruh migran khususnya para perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menyuarakan hak politik mereka selama mereka bekerja. Pada akhirnya, situasi ini membuat mereka terbiasa dengan risiko sosial dan kerentanan yang timbul dari sistem yang ada.
“Selama di daerah mereka tidak pernah belajar untuk bernegosiasi dengan negara untuk memperjuangkan pelayanan publik. Bagaimana mereka kemudian bisa mengadvokasi diri mereka untuk memperoleh hal-hak mereka yang lain?” ucap Dana.
Karena itu, ia pun mengajak para akademisi, komunitas, serta pembuat kebijakan untuk dapat mengadvokasi dan mengampanyekan program atau gerakan perlindungan buruh migran karena kepentingan mereka patut mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat.
“Persoalan ini menyangkut isu pembangunan di Indonesia dan Malaysia. Dengan adanya aktivitas politik yang mulai muncul di kalangan para buruh migran dan dukungan dari masyarakat, saya optimis ini akan memberikan harapan bagi masa depan buruh migran,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)