Pemerintah diminta untuk lebih cermat dan berhati-hati dalam melaksanakan kebijakan divestasi saham tambang milik perusahaan asing yang telah beroperasi di Indonesia. Meski kebijakan divestasi tersebut merupakan bagian dari amanat UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba. Pasalnya, kebijakan divestasi saham yang mengharuskan pemerintah memiliki saham hingga 51 % sangat berisiko menguras dana APBN bahkan bisa menimbulkan dampak negatif pada iklim investasi di masa mendatang.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Publik yang bertajuk ‘Politik Negosiasi Divestasi Tambang: Keuntungan dan Kesejahteraan untuk Siapa?’ yang berlangsung di ruang Perpustakaan Digital, Fisipol UGM, Kamis (9/3). Diskusi yang diselenggarakan oleh Unit Riset Departemen Politik dan Pemerintahan (Polgov) Fisipol UGM ini menghadirkan beberapa pembicara, diantaranya peneliti Natural Resource Governance Institute, Emanuel Bria, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan, Bapenas, Josaphat Rizal Primana, dan Tax Manager PT Freeport Indonesia, Mukhlis.
Emanuel Bria mengatakan adanya aturan divestasi saham tambang ini menyebabkan perusahaan asing yang sudah beroperasi diharuskan melepaskan sebagian kepemilikan sahamnnya kepada pemerintah. Aturan ini, menurutnya, bisa menimbulkan dampak pada citra negatif iklim investasi Indonesia. “Kebijakan ini mengancam iklim investasi di masa depan, padahal mayoritas investasi di Indonesia merupakan investasi asing,” katanya.
Belajar dari pengalaman yang ditemui di lapangan maka kebijkaan divestasi saham tambang di daerah sering dimanfaatkan oleh konglomerat yang mengatasnamakan pemerintah. “Divestasi saham perusahaan itu sering dimanfaatkan konglomerat Indonesia, tidak jarang asal dananya saja dari hasil pinjaman asing,” terangnya.
Sehubungan adanya wacana agar pemerintah melakukan divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen, diakui Emanuel Bria, kebijakan tersebut sangat berisiko karena dana yang diperlukan tidak sedikit. “Setengah dari total saham Freeport saja itu sama dengan 40 persen dana anggaran kesehatan, bayangkan itu anggaran semua rumah sakit di Kalimantan, NTT, dan Sumatera. Apalagi, nantinya pemerintah belinya pakai dana APBN,” paparnya.
Pemerintah perlu mempertimbangkan penerimaan negara di luar divestasi karena sudah mendapatkan dana dari royalti, pajak, dan ketersediaan lapangan kerja. “Ada pilihan bagi pemerintah selain divestasi, apakah menerapkan pajak yang tinggi, pembukaan lapangan kerja, pembangunan smelter. Dalam negosiasi kontrak karya dengan perusahaan asing perlu ditegaskan apa yang menjadi prioritas pemerintah,” ungkapnya.
Menurutnya, saat ini pemerintah fokus pada penerimaan pajak yang stabil dan menciptakan iklim invetasi yang positif sembari membangun BUMN dan perusahaan Indonesia lainnya yang lebih efisien. “Saya kira waktunya kurang pas, kita mengurangi investasi dari luar tapi BUMN kita belum bisa bersaing. Jangan sampai mematikan penjualan saham perusahaan tambang yang bisa menghambat investasi,” katanya.
Josaphat Rizal Primana dari Bapenas menuturkan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla sekarang ini sangat proaktif. Namun begitu, kebijakan divestasi merupakan amanat dari UU Minerba tahun 2009. Ia tidak sependapat apabila Freeport dikelola oleh BUMN dikarenakan mayoritas BUMN belum memberikan keuntungan maksimal bagi negara bahkan kalah bersaing dengan BUMN milik negara tetangga. Padahal, syarat bisa dilakukannya divestasi apabila BUMN dan BUMD sudah efisien dan transparan. “Banyak BUMN kita yang merugi, hanya sedikit yang memberikan keuntungan bagi negara,” katanya
Tax manager PT Freeport indonesia, Mukhlis, mengatakan Freeport yang telah beroperasi sejak 1973, sudah memberikan pemasukan pada negara sebesar 16,6 milyar dollar. “Sebanyak 16,6 milyar dolar sudah diberikan ke negara sejak 1992 hingga hingga sekarang. Perusahaan ini mempekerjakan 12.184 tenaga kerja dengan melibatkan penduduk asli (Papua) sekitar 35 persen. Dana yang sudah diberikan ke masyarakat totalnya sebesar 1,46 milyar dollar,” katanya.
Sebagai perusahaan tambang multinasional, kata Mukhlis, Freeport memerlukan ada jaminan hukum dan kepastian perpanjangan kontrak karya dari negara agar perusahaan ini terus berkembang dalam jangka panjang. (Humas UGM/Gusti Grehenson)