Dalam beberapa hari terakhir marak beredar di dunia maya video skip challenge yang dilakukan para remaja. Tantangan dilakukan dengan menekan dada secara keras selama beberapa saat hingga anak mengalami pingsan dan kejang.
Ahli saraf dari UGM, Dr.dr. Cempaka Thursina, Sp.S (K)., menyebutkan skip challenge merupakan tindakan yang sangat membahayakan. Pasalnya, dengan menekan dada selama beberapa saat akan mengurangi pasokan oksigen ke otak yang akan menimbulkan hilangnya kesadaran maupun kejang. Tindakan ini tidak hanya akan mengakibatkan kerusakan pada otak, tetapi juga dapat menyebabkan kematian.
“Jika kadar oksigen di otak rendah selama 2-3 menit maka otak akan mengalami gangguan. Bila lebih dari itu bisa menimbulkan kerusakan otak bahkan kematian,”tegasnya Senin (13/3).
Kerusakan otak ini dalam jangka panjang akan memengaruhi kemampuan kognitif anak. Sel otak yang rusak berdampak pada gangguan berpikir dan perubahan memori.
Cempaka mengatakan kerusakan otak akibat kekurangan oksigen juga dapat memunculkan stroke. Selain itu, berbagai penyakit lain seperti kebutaan, tuli, dan lainnya.
“Misal kekurangan oksigen di daerah mata bisa memicu terjadinya kebutaan. Begitu pula di berbagai organ tubuh lainnya, kurangnya suplai oksigen berdampak pada kerusakan saraf-saraf di daerah tersebut,” papar dokter spesialis saraf RSUP Dr. Sardjito ini.
Permainan skip challange ini , kata dia, juga berisiko terjadinya retak atau patahnya tulang iga karena tekanan kuat di daerah dada. Tulang iga yang retak bisa menusuk paru-paru dan mengakibatkan perdarahan pada organ ini.
“Skip challange merupakan permainan berbahaya. Sekali menjalani tantangan bisa teratasi (siuman), tetapi jika dilakukan berulang akan berdampak serius bagi kesehatan karenanya harus dihentikan,”tegasnya.
Psikolog UGM, Prof. Koentjoro, yang dihubungi secara terpisah menyebutkan salah satu alasan para remaja mengikuti skip challange karena ingin mencari tantangan. Tantangan ini dilakukan sebagai cara untuk menguji adrenalin.
“Anak-anak dan remaja suka mencoba hal baru dan menantang, termasuk dengan melakukan skip challange ini,” katanya.
Selain menantang, skipp challange digunakan remaja sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian. Dengan mengikuti tantangan ini mereka berharap akan mendapatkan pujian, dianggap berani, hebat, serta populer.
“Ini bagian dari tren yang tidak akan berlangsung lama. Hanya ikut-ikutan saja agar dianggap keren,” ujarnya.
Persoalannya, tidak banyak remaja yang mengetahui bahaya dan risiko melakukan skip challange ini. Karenanya, Koentjoro menekankan pihak sekolah untuk memberikan perhatian serius terhadap aktivitas siswanya di lingkungan sekolah. Tantangan permainan tersebut berbahaya tidak hanya bagi kesehatan tubuh, tetapi juga menimbulkan dampak psikologis berupa ketagihan melakukan hal serupa secara berulang.
“Permainan ini berbahaya, apalagi jika berkali-kali dilakukan,” jelasnya.
Menurutnya, sekolah harus mampu berlaku secara arif menghadapi persoalan ini. Sekolah diharapkan bisa mensosialisasikan risiko dan bahaya dari skip challange. Disamping itu, secara tegas menindak para siswanya yang melakukan tantangan berbahaya ini.
“Perlu dilihat apakah siswa melakukan atas kesadaran dan kemauan sendiri atau justru sebagai korban bullying. Kalau mengarah ke bullying maka perlu ada langkah-langkah hukum,” ujarnya.
Koentjoro juga mengajak orang tua untuk lebih aktif berkomunikasi dengan anak-anaknya. Selain memantau aktivitas anak di lingkungan rumah, orang tua juga diharapkan memberikan pemahaman kepada anak tentang risiko melakukan aktivitas bahaya, termasuk skip challange. (Humas UGM/Ika)