Pengelolaan hama Wereng Batang Coklat (WBC) merupakan hama dengan perkembangan populasi cepat dan selalu mengancam produksi padi di Indonesia. Dalam dua tahun terakhir, hama ini telah mengakibatkan kerusakan di berbagai daerah sentra padi, baik di Jawa maupun di luar Jawa dengan serangan yang makin meningkat.
Dr. Ir. Sri Nuryani Hidayah Utami, MP., M.Sc, Wakil Dekan II Fakultas Pertanian UGM, mengatakan serangan Wereng Batang Cokelat (WBC) pada musim hujan tahun 2016 cenderung mengalami peningkatan. Serangan tidak hanya terjadi di sentra produksi padi di Pulau Jawa, tetapi juga di pulau lain. Sementara itu, berbagai tindakan pengendalian telah dilakukan untuk menurunkan populasinya.
Sri Nuryani menuturkan sebagian tanaman padi saat ini telah atau akan segera memasuki musim panen. Meskipun terdapat kecenderungan penurunan populasi dan luas serangan WBC, namun berdasarkan pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, prediksi iklim mendatang serta adanya tindakan penggunaan pestisida yang tidak benar akan bisa mendorong terjadinya ledakan populasi dan luas serangan yang lebih tinggi di musim mendatang.
“Oleh karena itu, langkah dini sesuai dengan prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) perlu diterapkan untuk mengurangi risiko terjadinya ledakan WBC dan virus yang ditularkannya,” kata Sri Nuryani di Faperta UGM, Senin (13/3) saat menyampaikan kesimpulan FGD tentang Pengelolaan Hama Wereng Batang Coklat.
FGD Pengelolaan Hama Wereng Batang Coklat berlangsung di Fakultas Pertanian UGM pada 13 Februari lalu. Selain Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian RI, tampak hadir dalam FGD ini para Kepala Balai Proteksi Tanaman dan Hortikultura dari berbagai Provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur), Ketua Departemen Proteksi IPB, Ketua Departemen HPT UGM, ahli Hama dari IPB, UGM, UB, juga Kepala BBPOPT Jatisarai Jawa Tengah.
Sri Nuryani menambahkan mengingat kondisi iklim yang mendukung perkembangan populasi hama Wereng Coklat maka dalam beberapa waktu terakhir diperlukan langkah-langkah untuk menurunkan populasi dan mencegahannya. Beberapa langkah tersebut dirumuskan dalam tindakan pencegahan jangka pendek (sisa musim hujan 2016), musim kemarau 2017 serta jangka menengah dan panjang.
“Jangka pendek, misalnya pemantauan di daerah yang telah dilakukan pengendalian dengan pestisida baik kimia sintetik, nabati, maupun mikroba untuk mengevaluasi hasil sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengendalian kalau diperlukan di masa mendatang. Pemantauan di daerah-daerah sekitar daerah serangan untuk memantau penyebaran, khususnya di hamparan-hamparan yang baru saja tanam, eradikasi tanaman dan singgang yang terserang oleh virus yang terbawa oleh WBC dan lain-lain,” katanya.
Untuk musim kemarau 2017, kata Sri Nuryani, petani diharuskan melakukan penanaman varietas padi yang mempunyai gen ketahanan terhadap WBC dan melakukan pergiliran varietas tahan untuk mencegah terpatahkannya sifat ketahanan oleh biotipe baru. Selain itu, petani perlu melanjutkan penanaman refugia di daerah-daerah endemis WBC, pengamatan yang intensif dan representatif untuk dapat mendeteksi secara dini adanya populasi WBC. Kegiatan pengelolaan pada tanaman terserang tetap berdasarkan pada prinsip PHT, mendidik petani di daerah sentra padi dan daerah endemis WBC untuk membantu melakukan pengamatan dan melaporkan kepada POPT untuk memperluas daerah pemantauan dan lain-lain.
Sedangkan untuk jangka panjang menengah, yang bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya ledakan populasi WBC di tahun-tahun mendatang maka diperlukan perbaikan layanan ekosistem secara berkelanjutan. Adapun langkah-langkah operasional yang diperlukan, diantaranya peningkatan pemahaman kepada petugas, petani, dan peneliti secara berkelanjutan tentang masalah WBC dan perannya sebagai vektor virus. Diperlukan pula pemetaan biotipe dan resistensi WBC, serta melakukan evaluasi insektisida yang telah terdaftar khususnya dampaknya terhadap musuh alami dan keperidian WBC.
“Langkah lainnya perbanyakan dan pelepasan parasitoid yang spesifik untuk WBC secara terprogram dan dievaluasi, pelatihan tentang risiko penggunaan pestisida baik bagi kesehatan lingkungan maupun manusia, dan penggunaan pestisida nabati maupun mikroba tetap mengacu pada prinsip PHT, perakitan varietas tahan dan desain pengelolaan varietas setelah pelepasan untuk memperpanjang masa hidup varietas tersebut dan memperlambat perkembangan biotipe WBC dan lain-lain,” terangnya. (Humas UGM/ Agung)