Cukup sulit mendefinisikan cara cerdas membranding destinasi wisata dari perspektif komunikasi visual. Karena, prinsip dasar dari brand (branding) adalah bagaimana seseorang dipersepsikan. Seseorang bisa diartikan sebagai benda, bisa dibaca sebagai institusi, atau bahkan wilayah dan sebagainya.
Demikian dikatakan Dr. Sumbo Tinarbuko, M.Sn, dosen Semiotika Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pada Seminar Series Kepariwisataan di Pusat Studi Pariwisata UGM, Selasa (14/3). Menurut Sumbo sebelum berbicara destinasi wisata dalam konteks visual branding maka suka tidak suka orang harus melihat terlebih dahulu personal branding. Karena, dengan personal branding akan menyebarkan virus bagaimana berkomunikasi yang baik dengan banyak pihak.
“Saat ini orang bisa sudah biasa membangun brand dan mempersepsikannya melalui media sosial,” ujarnya.
Dari pergaulan di dunia brand, Sumbo menyatakan brand sesungguhnya adalah bagian dari kehidupan. Dengan demikian, brand harus hidup dan ia harus menjadi kata kerja bukan kata benda.
“Nah, selama ini banyak dipahami bahwa brand itu sama dengan merek. Padahal, merek itu hanya sekadar nama dan kadang-kadang nama itu berjarak dengan objek yang diberi nama,” katanya.
Sumbo melihat kelemahan brand wisata di Yogyakarta terletak pada rebranding logo. Brand yang ada di Kota Yogyakarta ini adalah brand yang masih kata benda. Jika brand sebagai kata benda, suka tidak suka maka ia tidak bisa berjalan sendiri dan tidak konsisten.
Oleh sebab itu, setiap orang, institusi atau komunitas menganggap logo tersebut bukan miliknya. Padahal, brand Yogyakarta ini mestinya menjadi bagian dari pengikat emosi, penyemangat jiwa, dan roh kehidupan untuk siapa pun yang ada di Yogyakarta.
Sumbo melihat hal personal branding, di Yogyakarta yang terlihat hanya di Kulon Progo dengan konsep bela belinya. Kabupaten ini memiliki hasil-hasil sendiri, diantaranya batik gebleknya, batu-batuan, kesenian Krumpyung hingga pembuatan air mineral.
“Dalam personal branding, Hasto Wardoyo Bupati Kulon Progo sejajar dengan Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil. Personal branding atas Kulon Progo ini tidak terjadi di Sleman, tidak terjadi di kota Yogyakarta, tidak terjadi di Bantul dan tidak di Gubernuran. Sementara itu, Gubernur tidak mau melakukan personal branding sebagai brand ambassador. Oleh karena itu, Bappeda perlu mendorong ke arah itu,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)