Indonesia dikenal sebagai negara dengan optimisme yang kuat dan potensial untuk memegang peran kepemimpinan, khususnya di kawasan regional ASEAN. Meski demikian, Indonesia juga memiliki sejarah gelap konflik masa lampau dan pelanggaran HAM skala besar yang masih terus membayangi negara ini hingga hari ini.
“Secara sederhana, masa depan yang lebih kuat bagi Indonesia harus dibangun di atas dasar keadilan. Untuk dapat bergerak maju dan benar-benar mewujudkan potensinya, negara ini juga harus melihat ke belakang dan mengatasi warisan masa lampau,” ujar Sekjen Amnesty International, Salil Shetty, saat memberikan kuliah umum di Balai Senat UGM, Jumat (24/3).
Dalam kegiatan Yap Thiam Hien Human Rights Lecture II ini, ia menyampaikan kuliah umum dengan tema Looking Backwards to Look Forwards: A Stronger Future for Indonesia Rooted in Justice. Salil mengajak para peserta untuk melihat kembali warisan dari pelanggaran HAM di masa lalu yang harus dikonfrontasi, serta memberikan beberapa saran demi menciptakan masa depan yang lebih baik bagi segenap warga Indonesia.
“Saya perlu menjelaskan bahwa Indonesia memiliki sumber daya yang hebat untuk digunakan, dan aset terbesarnya adalah orang-orangnya. Ini adalah negara di mana kaum marjinal telah mampu bersuara di seluruh negara dan partisipasi warga kuat dan dalam,” ujarnya.
Ia menyayangkan banyaknya pelaku pelanggaran HAM serius yang bisa bebas dari kasus-kasus yang berat. Kejahatan kemanusiaan, pembunuhan ekstrajudisial, penghilangan orang, kekerasan seksual, serta pelanggaran HAM berat lainnya seolah-olah bisa luput dari investigasi. Salil menyebutkan tiga contoh bagaimana Indonesia gagal mengatasi warisan dari masa lalu, diantaranya tragedi kejahatan kemanusiaan yang terjadi pasca kegagalan kudeta pada tahun 1965-1966 dan kasus kemanusiaan Aceh ketika itu antara tahun 1976 hingga tahun 2005 sebanyak 10 ribu hingga 30 ribu jiwa mati terbunuh. Selain itu, ia juga menyebut peristiwa pembunuhan Munir lebih dari 12 tahun lalu yang masih belum terselesaikan hingga saat ini.
Ia menambahkan dengan terpilihnya Presiden Joko Widodo di tahun 2014, timbul harapan bahwa keadilan terhadap pelanggaran HAM dapat ditegakkan. Meski demikian, hingga saat ini janji-janji yang disampaikan belum dapat diwujudkan dalam tindakan.
“Sejumlah besar korban dan keluarganya tidak memiliki ganti rugi, pemulihan, dan akses terhadap keadilan. Catatan impunitas Indonesia tetap ada, dan luka dari masa lalu tidak pernah sembuh,” imbuh Salil.
Untuk membangun agenda ke depan yang berakar dalam keadilan, menurut Salil, salah satu poin yang perlu diperhatikan adalah menghentikan impunitas dari pelangaran masa lalu dan memastikan adanya akuntabilitas. Selain itu, poin lain yang ia sebutkan adalah untuk membuka kebenaran mengenai kejahatan masa lalu kepada para korban serta keluarganya, memastikan penegakan hukum bagi pelanggaran HAM di masa sekarang, serta penghapusan hukuman mati.
Perlindungan bagi pembela HAM juga menjadi salah satu poin yang ia soroti. Intimidasi dan kriminalisasi terhadap mereka yang bekerja untuk membela hak orang lain, menurutnya, hanya akan menciptakan iklim orang menjadi takut untuk bersuara. Ia pun berharap dengan didirikannya kantor Amnesty International di Indonesia, lembaga ini dapat menjadi bagian dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan perubahan.
“Di atas segalanya, harapan datang dari masyarakat Indonesia, dengan banyaknya organisasi dan orang-orang berani yang siap untuk membela hak asasi manusia di seluruh nusantara, termasuk di daerah-daerah yang paling terabaikan. Sebuah hak istimewa bagi Amnesty International untuk bergabung bersama anda lebih dekat dalam perjuangan kalian demi keadilan,” pungkas Salil.
Kedatangan Salil ke UGM mendapat apresiasi dari Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. Kehadiran kantor Amnesty International di Indonesia, menurutnya, memberikan angin segar bagi kemungkinan adanya kolaborasi dalam mewujudkan masa depan yang berkeadilan bagi Indonesia. Ia pun berharap agar generasi muda dapat menangkap pesan dan visi yang disuarakan serta ikut terlibat dalam kampanye untuk mewujudkan perdamaian.
“Kami sangat bersyukur jika kita dapat saling berkomunikasi dan mendiseminasi hasil riset kami dengan Amnesty International untuk melakukan ko-kreasi bagi kepentingan masyarakat. Saya mengingatkan kepada generasi muda untuk dapat menjalankan kampanye yang dapat kita nikmati bersama, bukan dengan cara yang liar,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)