Dalam Islam posisi perempuan tidak hanya dipandang sebagai sebuah entitas fisik berupa jenis kelamin, tetapi juga cara pandang perempuan (femininitas) yang tersandar sebagai manifestasi Tuhan pada alam. Pandangan yang hampir sama juga terjadi di banyak budaya dan peradaban. Hal tersebut termasuk dalam pandangan kosmologi Jawa.
Perempuan lebih cenderung mengalah demi harmoni. Perempuan adalah jiwa dari keluarga dan keluarga adalah spiritualitas dari masyarakat yang lahirnya melalui rahim (baca: kasih sayang) perempuan. Kemudian dari keluargalah proses awal untuk membangun sebuah peradaban.
“Femininitas adalah dimensi yang bukan hanya ada di dalam diri kaum perempuan saja, melainkan juga ada di dalam diri kaum lelaki. Berpijak pada landasan spiritualitas yang mengacu pada kosmologi perempuan menjadi sangat layak untuk menjadi solusi dalam berbagai permasalahan kehidupan manusia baik sosial, ekonomi dan politik, untuk tercapainya mikro dan makro kosmik,” ujar A.M. Shafwan, dari Pondok Madrasah Filsafat Muthahhari, Yogyakarta pada Seminar Perempuan dan Peradaban, di di gedung Notonegoro lantai 3, Ruang Sidang Persatuan, Fakultas Filsafat UGM, Jumat (24/3).
Seminar digelar Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) Universitas Gadjah Mada bidang Agama dan Budaya (Bidang GaYa) bekerjasama dengan Fakultas Filsafat UGM. Seminar diikuti 100 peserta dengan menghadirkan pembicara Dr. Hastanty Widy Nugroho, S.S., M.Hum dosen dan alumni fakultas Filsafat UGM dan A.M. Shafwan, dari Pondok Madrasah Filsafat Muthahhari, Yogyakarta.
Sementara itu, Dr. Widy dalam kesempatan ini lebih banyak menyoroti tentang konsep politik reproduksi yang lebih mengedepankan etika kepedulian (ethic of care). Menurutnya, dalam hal reproduksi para perempuan melakukan dengan penuh rasa kasih sayang.
Demikian pula dalam menyelesaikan masalah, perempuan lebih cenderung melakukan pendekatan secara perasaan dan kepedulian. Bukan dengan cara-cara sebaliknya yaitu cara ketegasan clear cut.
“Maka jika segala permasalahan termasuk dalam dunia perpolitikan menggunakan pendekatan ethics of care, sebagaimana yang dimiliki oleh jiwa seorang perempuan maka akan terwujudlah suasana yang harmonis meskipun dengan lawan politik,” katanya.
Dr. Arqom Kuswanjono, M.Hum, Dekan Fakultas Filsafat UGM, menambahkan diskursus tentang perempan sejak dulu memang selalu sangat menarik, baik oleh kaum laki-laki maupun sesama perempuan sendiri. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mendiskusikan tentang perempuan yang erat kaitannya dengan kultur budaya dan agama. (Humas UGM/ Agung)