Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) dan gerakan One Billion Raising Yogyakarta berkolaborasi menggelar workshop penguatan kesadaran terhadap kekerasan seksual bertajuk WORKSHOP ON STANDS AGAINTS SEXUAL VIOLENCE: Rise! Disrupt! Connect! pada Jumat (31/3) di Gedung PAU UGM. Kegiatan ini menjadi wujud perhatian PSSAT untuk melengkapi masyarakat dari berbagai latar belakang dengan pemahaman mengenai kekerasan seksual serta cara pencegahan dan penanganannya.
“Korban kekerasan seksual tidak lagi umumnya dialami oleh perempuan dan anak-anak, namun laki-laki pun bisa menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Meike Karolus selaku panitia penyelenggara, Senin (3/4).
Sejak tahun 2016, PSSAT UGM secara konsisten mengkaji isu seputar kekerasan seksual dalam konteks sosial dan kawasan di Asia Tenggara. Di sisi lain, sebagai pusat studi yang memiliki tanggung jawab pengabdian kepada masyarakat, PSSAT UGM berkomitmen untuk bergerak bersama masyarakat dalam memberikan pengetahuan melalui pelatihan dan workshop. Kasus kekerasan seksual, menurut Meike, tidak hanya merupakan persoalan yang dihadapi masyarakat tertentu, tetapi telah menjadi salah satu masalah bersama yang dihadapi dunia. Oleh sebab itu, tidak mengherankan muncul gerakan aktivisme yang menuntut perlindungan hukum dan pendampingan bagi para korban.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi 15 jenis dan 13 diantaranya belum ada dalam naskah perundangan di Indonesia. Jenis tersebut diantaranya intimidasi bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pemaksaan aborsi, kontrasepsi/sterilisasi paksa, penghukuman bernuansa seksual, dan kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Hal yang juga memprihatinkan dan harus segera ditanggulangi, lanjut Meike, adalah fakta bahwa para pelaku tindak kekerasan seksual kebanyakan adalah orang terdekat seperti suami, anggota keluarga, pacar atau pasangan intim lainnya daripada yang dilakukan oleh orang asing.
“Sebagai contoh, di Kabupaten Sragen kasus pemerkosaan terhadap anak perempuan terjadi 98% di dalam rumah dan oleh kerabat dekat,” ujarnya.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, imbuh Meike, jumlah korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang belum menikah tertinggi terdapat di Kota Yogyakarta dengan 243 korban. Dengan melihat cukup tingginya angka kekerasan seksual di DIY, pemerintah provinsi DIY telah mengeluarkan Perda No. 3 Tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan yang di dalamnya mengatur dan melindungi perempuan dan anak di wilayah DIY dari bentuk kekerasan fisik, psikologis, dan seksual, serta memberikan perlindungan, pelayanan, dan pendampingan bagi korban.
Workshop ini dihadiri tidak saja dari kalangan mahasiswa dan pendidik, tetapi juga masyarakat umum dan aktivis. Dalam workshop ini, peserta dibekali dengan wawasan untuk memetakan apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual melalui analisis kasus-kasus, cara pencegahan dan penanganan jika melihat atau mengalami kekerasan seksual, serta informasi mengenai lembaga atau konseling yang melayani korban kekerasan seksual. Secara umum, hasil workshop ini ditanggapi positif oleh peserta. Hasil dari workshop ini diharapkan tidak saja memberikan pemahaman tentang kekerasan seksual tetapi juga membangun solidaritas untuk korban.
“Selama ini kami banyak menemukan kasus-kasus kekerasan seksual tetapi kami tidak tahu harus bagaimana. Workshop ini kami harap dapat membantu ketika menangani masalah ini,” ujar Sr.Teresa Triastuti, OP, salah satu peserta workshop. (Humas UGM/Gloria)