Santrinisasi dan resantrisasi kelas menengah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kelompok kelas menengah muslim di Indonesia. Hal ini mengemuka dalam bedah buku Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia di Fisipol UGM belum lama ini. Bedah buku menghadirkan penulisnya, Wasisto Raharjo Jati, serta dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM, Hasrul Hanif. Pada bedah buku itu Wasis banyak memaparkan terkait kelas menegah muslim Indonesia dan kaitanya dengan politik.
Wasis memulai penjelasannya dengan menjambarkan definisi kelas menengah lalu siapa yang disebut kelas mengenah muslim Indonesia.Wasis menggunakan definisi kelas menengah perspektif Weberian sebagai dasar penjambarannya.
Menurut Wasis yang disebut kelas menengah muslim Indonesia yaitu kelas menengah yang menggunakan prinsip, norma, dan nilai Islam sebagai identitas individu dan kelompok yang berkembang sesuai dengan kondisi politik saat itu.
”Kelas menengah muslim ini muncul sebagai bentuk diskriminasi dan alienasi terhadap umat muslim yang kemudian memicu aktivitas borjuasi, edukasi, serta filantropi sebagai simbol kebangkitan politik,” jelas Wasis.
Ia juga menjelaskan bahwa santriniasasi dan resantrisasi kelas menengah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kelompok kelas menengah muslim di Indonesia. Kemunculan kelas menengah muslim Indonesia dianalisisnya melalui konteks calling dan Asketisme dunia.
“Adanya konteks filantropi yang membedakan kelas menengah muslim Indonesia dengan kelas menengah barat,” terang Wasis.
Selanjutnya Wasis juga menerangkan genealogi awal kelas menengah muslim di Indonesia yang dicapai dan ditempuh melalui tiga aspek, yaitu aspek perdagangan, aspek haji, dan terakhir aspek pendidikan (jaringan dan transmisi).
“Contoh angota kelas menengahnya yaitu kelompok santri, pedagang, dan pemuka agama,” ujar Wasis.
Sementara itu, pada genealogi kelas menengah muslim di Indonesia tahap selanjutnya terjadi tranformasi dari apa yang disebut Wasis dengan “Islam Politik” menjadi “Islam Sipil”. Menurut Wasis hal itu terjadi saat orde baru berkuasa.
“Pada era itu, pembentukan kelas menengah baru dimulai melalui jalur intelektualisme dan modernisasi,” papar Wasis.
Wasis menjelaskan bahwa intelektualisme ditandai dengan munculnya kelompok epistemik kampus dan berbasis masjid, sedangkan modernisasi dimulai dengan munculnya berbagai produk syariah dan Islami. Pada akhir pemaparannya, Wasis memberikan kesimpulannya terkait kelas menengah muslim Indonesia. Menurutnya, kelas menengah muslim Indonesia masih berupaya membangun eksistensi dan representasi politis dengan upaya “beradaptasi” dengan modernisasi. Peran kelas menengah dalam politik informal justru lebih aktif sebagai kelompok kepentingan atau pun kelompok penekan. (Humas UGM/Catur)