Masyarakat memiliki peran penting dalam proses pembangunan mengingat partisipasi masyarakat merupakan syarat dari sebuah proses pembangunan.
Partisipasi dapat dilakukan melalui penyampaian aspirasi masyarakat atas realitas yang dihadapi. Terkait hal ini, budaya populer menjadi salah satu media yang umum digunakan masyarakat.
Salah satu media budaya populer yang digunakan masyarakat adalah musik. Melalui musik, lirik, penampilan dan simbol tertentu, masyarakat dapat mengartikulasikan inisiatif dan kritik sosial dalam proses pembangunan.
Di Indonesia, beragam genre musik, seperti dangdut, campursari atau hardcore sudah lama dipergunakan sebagai media kritik sosial dan pembangunan. Konten musik di Indonesia berkembang sejalan dengan perkembangan realitas sosial yang ada.
Dr. Hempri Suyatna, Kepala Pusat Studi Kajian Pembangunan (Sodec), PSdK, Fisipol UGM, tidak menampik kenyataan tersebut. Berbagai genre musik, seperti dangdut dan campursari mampu menjadi inspirasi banyak orang untuk menyampaikan kritik dan protes sosial.
“Dangdut dan campursari punya identitas untuk menyampaikan kritik untuk pembangunan. Musik ini dekat dengan rakyat,” katanya pada Seminar Nasional Musik: Kritik Sosial dan Pembangunan, di ruang Digital Library, Fisipol UGM, Rabu (5/4).
Menurut Hempri, banyak lagu-lagu tercipta untuk mengkritis konstruksi dan persoalan-persoalan sosial yang ada. Dangdut dan campursari menjadi salah satu media kritik sosial yang dekat dengan masyarakat bawah.
Tidak lagi sekadar menghibur, namun musik dangdut masuk pada panggung politik. Seperti penampilan H. Roma Irama bersama Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilu 1977 dan 1982.
“Hingga kini pun belum ada yang mampu menggeser pesona kritik milik Roma Irama. Bahkan, melalui lirik dan melodi, Roma butuh waktu tiga tahun untuk menciptakan lagu Judi,” terangnya.
Hal ini mengemuka dalam Seminar Nasional Musik: Kritik Sosial dan Pembangunan digelar Departemen Pembangunan dan Kesejahteraan, Fisipol UGM. Seminar ini bertujuan untuk melihat peran musik yang masyarakat sebagai media artikulasi kritik, tuntutan dan inisitaif dalam upaya mengarahkan perubahan sosial dan pembangunan.
Seminar menghadirkan pembicara Dr. Hempri Suyatna yang membahas mengenai Dangdut, Campur sari dan Kritik Sosial. Prof. Andrew N Weintraub dari University of pittsburg yang membahas mengenai dangdut dan kerakyatan, dan Rizky Sasasoni, S.S yang membahas mengenai musik Indie dan Kritik Sosial.
Prof. Andrew N Weintraub menambahkan di Jaman Orde Baru beberapa lagu milik Roma Irama dilarang beredar karena dianggap mengganggu stabilitas nasional. Bahkan, pada saat itu musik dangdut merupakan simbol menentang rezim militer Orde Baru.
“Jadi, antara Iwan Fals dan Roma Irama itu sama-sama mengkritis. Meski tidak dari kalangan masyarakat kecil, lagu-lagu Iwan Fals untuk rakyat kecil. Sedangkan Roma Irama, meski dimusuhi namun dengan musiknya mampu membentuk masyarakat dan itu bisa dilihat dari lirik-lirik lagu yang dihasilkan pada kondisi masyarakat saat itu,” terangnya. (Humas UGM/ Agung)