Untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat dalam negeri dan pengembangan industri bahan baku obat parasetamol, Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian, sepakat menjalin kerja sama dengan Fakultas Farmasi UGM. Kerja sama tentang Metode Pembuatan Parasetamol yang Efisien dan Ekonomis, ditandatangani Direktur Industri Kimia Hulu, Ir. Muhammad Khayam, M.T, dan Prof. Dr. Agung Endro Nugroho, M.Si., Apt, Dekan Fakultas Farmasi UGM, bertempat di hotel Grand Zuri, Yogyakarta, Selasa (11/4).
Melalui kerja sama ini nantinya akan dilakukan penelitian dan produksi p-aminofenol (PAF). Selain itu, dilakukan pula penelitian dan produksi parasetamol dengan metode enzimatik yang dilakukan dengan bahan baku kimia dan pereaksi lain.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian, mendorong penelitian metode pembuatan p-aminofenol (PAF) dalam skala laboartorium. Selain itu, juga mendorong penelitian metode pembuatan parasetamol dengan metode enzimatik dan kimiawi dalam skala laboratorium.
Dengan kerja sama ini maka Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian, akan menyediakan bahan baku kimia, pereaksi lain, dan sarana pendukung lain yang diperlukan. Selain itu, memberikan dukungan penganggaran dalam penelitian metode pembuatan PAF dan parasetamol skala laboratorium.
Muhammad Khayam menyambut baik kerja sama ini. Dengan kerja sama ini diharapkan muncul implementasi yang memungkinkan pengembangan bahan-bahan baku farmasi lainnya.
“Namun, kita fokus saja, masalah parasetamol. Apalagi, Kementerian Perindustrian dengan UU Perindustrian yang baru UU No 3 tahun 2014 yang disahkan, salah satunya mengamanatkan mengenai rencana induk pembangunan industri nasional,” katanya.
Muhammad Khayam mengatakan beberapa peraturan yang ada menjadi titik tolak bagi Kementerian Perindustrian dan kementerian lain untuk terus mendukung sektor industri, dalam hal ini adalah industri farmasi. Dukungan itu antara lain melalui PP 14 tahun 2015, dan juga mengenai sumber daya industri yang tertuang dalam PP 41 tahun 2015, yang mengamanatkan pemerintah wajib untuk menjamin ketersediaan bahan baku dan energi.
“Kita pun semua tahu sampai saat ini ketersediaan bahan baku obat hampir 95 persen impor. Ini tentu menjadi titik tolak dan kita berterima kasih pada Fakultas Farmasi UGM yang mempunyai inisiatif untuk mengembangkan dengan metode lain atau dengan jenis bahan baku yang lain,” katanya.
Pernyataan senada disampaikan Agung Endro Nugroho selaku Dekan Fakultas Farmasi UGM. Semenjak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, Indonesia hingga saat ini masih tergantung pada bahan baku obat impor.
“Kita prihatin di Indonesia ini telah berdiri hampir 200 program studi farmasi. Sebanyak 140 sudah berdiri, namun belum bisa mengurangi impor bahan baku obat di Indonesia,”ungkapnya.
Dalam pandangan Agung Endro, kondisi ini tentu menjadi tantangan di masa depan. Untuk itu, diperlukan terobosan-terobosan dan cara berpikir out of the box, terutama untuk pengembangan senyawa obat sintetis.
“Parasetamol sudah lama sekali, tapi bisa tidak kita realisasikan sebagai kemandirian bahan baku obat. Oleh sebab itu, kerja sama ini bagus sekali dan strategis karena di dalamnya ada UGM yang mendapat dukungan pemerintah melalui Kemenperin dan salah satu industri yaitu Kimia Farma. Tentunya, ini menjadi semangat yang luar biasa untuk mengawal pengembangan industri parasetamol,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)