Dalam bidang bedah syaraf, telah banyak ditangani tumor meningioma yang mempunyai progesteron reseptor dan sering disertai dengan hiperostosis pada tulang kalvaria sebagai pembuktian peran reseptor progesteron dalam pembentukan matriks tulang sehingga terjadi hiperostosis pada tulang kalvaria. Meski demikian, belum ada yang meneliti bahwa hiperostosis pada meningioma terkait dengan keberadaan reseptor progesteron yang terdapat pada tumor.
“Berdasarkan kepustakaan yang ada meningioma dengan hiperostosis sudah diketahui sejak ribuan tahun yang lalu hingga saat ini penyebab pastinya belum diketahui dengan pasti. Saya tertarik untuk meneliti peranan progesteron reseptor dalam terbentuknya hiperostosis tulang kalvaria pada tumor meningioma,” ujar Handrianto Setiajaya saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Rabu (12/4) di Fakultas Kedokteran UGM.
Meningioma sendiri merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering ditemukan dengan jumlah insiden bervariasi tergantung penelitian tiap negara dengan rata-rata 0,61-2,42% kasus per 100.000 penduduk. Dokter TNI AD ini menyebutkan bahwa dari beberapa penelitian diketahui bahwa wanita lebih banyak menderita meningioma dibandingkan laki-laki. Hal ini diduga karena pengaruh hormon seks yang mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik meningioma intrakranial.
“Hal ini diperkuat oleh beberapa laporan kasus yang menyatakan tumor meningioma membesar dengan cepat dan menjadi simptomatik selama fluktuasi hormonal terutama pada masa kehamilan dan fase lutheal siklus menstruasi. Pada masa tersebut didapatkan peninggian kadar hormon progesteron dalam darah yang dapat merangsang pertumbuhan meningioma,” paparnya.
Dalam disertasinya yang berjudul “Hubungan Reseptor Progesteron dengan Pembentukan Hiperostosis Kalvaria pada Meningioma” Handrianto mengungkap mekanisme terjadinya hiperostosis pada meningioma oleh karena aktivasi osteoblast melalui peran reseptor progesteron pada kalvaria sekitar tumor.
Melalui berbagai metode yang digunakan, penelitian yang ia lakukan mendapatkan hasil yang bertentangan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa pada meningioma dengan hiperostosis lebih banyak ditemukan peninggian ekspresi reseptor progesteron dengan meningioma tanpa hiperostosis, dan menyokong pada tulang kalvaria yang mengalami hiperostosis lebih banyak ditemukan peninggian sel osteoblast dibandingkan dengan tulang tanpa hiperostosis.
“Berdasarkan hasil dan pembahasan diambil kesimpulan bahwa tidak ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara meningioma yang mempunyai ekspresi reseptor progesteron yang tinggi dengan timbulnya hiperostosis pada kalvaria,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menemukan adanya korelasi negatif lemah antara tingginya intensitas ekspresi reseptor progesteron dengan ketebalan matriks osteoid sebagai gambaran aktivitas osteoblast pada kalvaria, serta adanya keterkaitan faktor usia dengan terjadinya hiperostosis.
Meski demikian, ia mengakui bahwa penelitian ini masih memiliki kelemahan karena penelitian dilakukan di satu pusat penelitian saja sehingga kemungkinan karakteristik pasien kurang bervariasi untuk menggeneralisasi hasil pada populasi yang lebih luas. Karena itu, menurutnya, perlu penelitian lebih lanjut dengan penambahan variabel dan jumlah sampel pada penelitian multi center sehingga menggambarkan populasi yang luas dan diharapkan terjadi perubahan arah korelasi yang bermakna antara intensitas reseptor progesteron dengan hiperostosis. (Humas UGM/Gloria)