Kandungan nitrat pada air sumur di Kota Yogyakarta dan sekitarnya cenderung meningkat selama dua puluh tahun terakhir. Bahkan, peningkatan ini melebihi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan WHO.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan dan berdampak terhadap kesehatan masyarakat yang menggunakan sumur tersebut secara terus menerus dalam jangka waktu lama. Salah satu dampak kesehatan yang terjadi adalah kanker kolorektal. Data di RSUP Dr. Sardjito mencatat angka prevalensi kanker rektum di tahun 2014 sebesar 6 per 100 persen pasien yang dirawat.
“Hingga saat ini belum ada penelitian terhadap risiko terjadinya kanker kolorektal akibat mengonsumsi air yang mengandung nitrat yang tinggi terhadap masyarakat Yogyakarta,” kata Fathmawati , dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Pontianak, saat ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Senin (17/4).
Menurut Fathmawati, dampak yang ditimbulkan akibat pencemaran nitrat pada air sumur tidak hanya masalah kesehatan, melainkan juga berdampak ekonomi sebagai akibat sakit yang diderita. Masyarakat harus mengeluarkan biaya yang berhubungan dengan sakit yang diderita dan kehilangan pendapatan karena sakit, belum lagi harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan air bersih yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi.
Mempertahankan disertasi berjudul Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran Nitrat Pada Air Sumur Terhadap Kejadian Kanker Kolorektal di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Fathmawati mengungkapkan risiko kanker kolorektal empat kali lebih besar ditemukan pada kelompok yang mengonsumsi air sumur yang tercemar nitrat >50 mg/L. Terutama pada laki-laki maka akan meningkat lagi menjadi lima kali pada kelompok yang mengonsumsi air sumur selama lebih dari sepuluh tahun.
“Mereka yang berusia 50 tahun ke atas, risiko kanker kolorektal ini meningkat menjadi enam kali pada kelompok yang mengonsumsi air sumur dengan nitrat >50 mg/ L. Sementara kerugian yang ditimbulkan mencapai 69.904.000 rupiah per orang jika tidak menggunakan fasilitas BPJS,” katanya.
Karena itu, kata Fathmawati, pemantauan kualitas air sumur perlu dilakukan secara berkala, setahun sekali jika nitrat pada air sumur masih rendah dan tiga bulan sekali jika kandungan nitrat tergolong tinggi oleh pemerintah melalui dinas kesehatan bersama pusat kesehatan masyarakat. Sementara, masyarakat sebaiknya tidak mengonsumsi air sumur yang sudah tercemar nitrat dengan konsentrasi tinggi dan beralih ke sumber air minum lain.
“Pemerintah melalui instansi teknis terkait dapat memberikan informasi dampak pencemaran nitrat pada air minum kepada masyarakat sehingga masyarakat memiliki kepedulian terhadap keamanan air minum yang dikonsumsi,” papar Fathmawati didampingi promotor Prof. Dr. dr. KRT. Adi Heru Husodo, M.Sc., D.Comm.Nut., D.L.S.H.T.M dan ko-promotor Dr. Evi Gravitiani, S.E., M.Si dan Dr. Santo. (Humas UGM/ Agung)