Upaya untuk mengembalikan masyarakat Iran yang mengaggumi pola hidup Barat dan Marxisme kepada pangkuan Imam dan Islam menjadi semangat dalam koherensi historis pemikiran dialektika bidimensional dalam filsafat sejarah Ali Syari’ati. Hal tersebut tidak lepas dengan muatan syari’at Islam Syiah melalui interpretasi kritis dan asilnya.
“Kondisi tersebut mentransformasikan keyakinan agama orang-orang beriman yang tradisional kepada program aksi yang revolusioner dan sebagai ideologi pembebasan dari tirani dan penindasan,” urai Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Moh. Ahsanuddin Jauhari, Rabu (19/4) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Filsafat UGM.
Jauhari menyampaikan dalam dialektika subjektif misalnya, dalam batas-batas tertentu mirip dengan dialektika Hegel. Sebab, dialektika ini terjadi dalam diri setiap individu dengan sifat yang batiniah dan berlangsung dalam esensinya sendiri. Berbentuk pertarungan atau kontradiksi antara tesis/roh Allah sebagai lambang kebenaran dan antitesis/lempung busuk sebagai lambang kejahatan sehingga menjadikan manusia sebagai realitas kontradiksi dialektis.
Sementara dalam dialektika objektif mirip dengan dialektika Marx. Pasalnya, dengan sifat material dan berlangsung dalam kehidupan yang lebih lahiriah. Berbentuk pertarungan antara tesis/Habil sebagai simbol kebenaran atau masyarakat kelas dan antitesis/Qobil sebagai simbol kejahatan atau masyarakat kelas.
Menurutnya, dialektika objektif dalam sejarah merupakan transformasi dari dialektika subjektif dalam diri setiap individu. Oleh sebab itu, sejarah menjadi bersifat spiritual sekaligus material atau bidimensional.
“Proses kontradiksi dialektis yang terjadi dalam setiap individu manusia dan sejarah terus bergerak maju secara progresif evolusioner ke arah puncak kesempurnaan tertinggi disebut sintesis,”pungkasnya. (Humas UGM/Ika)