Dalam beberapa waktu belakangan terjadi kenaikan tren penggunaan instrumen trade remedies secara signifikan dalam perdagangan internasional. Direktur Pengamanan Perdagangan (DPP) Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, menyebut tren ini sebagai kondisi yang dapat menempatkan ekspor Indonesia dalam posisi bahaya.
“Ekspor Indonesia sedang dalam bahaya. Kita harus mewaspadai peningkatan tren penggunaan trade remedy,” ujarnya dalam acara DPP Goes to Campus, Kamis (27/4) di University Club UGM.
Dalam acara yang terselenggara atas kerja sama antara DPP dan Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM ini, ia menjelaskan prinsip trade remedy sebagai alat kebijakan perdagangan yang memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan eksepsi terhadap prinsip dasar WTO dengan menjalankan tindakan perbaikan terhadap impor yang menyebabkan kerugian material pada industri domestik.
Tindakan pengamanan perdagangan semacam ini, lanjutnya, dilakukan oleh pemerintah negara tujuan ekspor jika dirasakan adanya lonjakan impor barang sejenis atau barang yang langsung merupakan saingan hasil industri dalam negerinya, adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius pada industri dalam negeri, serta terdapat hubungan kausalitas antara lonjakan impor dengan kerugian serius atau ancaman kerugian serius di negara tersebut. Kebijakan semacam ini, ujar Pradnya, merupakan tindakan yang diperbolehkan untuk melindungi industri dalam negeri. Meski demikian, ia menyayangkan bahwa ekspor Indonesia juga tidak luput dari dampak penggunaan instrumen perdagangan yang diberlakukan oleh negara mitra dagang.
“Banyak perusahaan dan produk unggulan Indonesia sebelumnya telah dirugikan oleh aturan-aturan seperti ini,” ujarnya.
Untuk itu, Kementerian Perdagangan berkomitmen untuk membantu semua perusahaan eksportir Indonesia yang akan dikenakan tindakan pengamanan perdagangan, salah satunya dengan memberikan advokasi secara optimal serta bersama perusahaan membawa kasus ke lembaga banding di negara penuduh atau membawa kasus ke lembaga sengketa di WTO apabila terjadi unfair proceeding. Meski demikian, Pradnya mengakui bahwa poin terakhir ini masih menjadi tantangan tersendiri bagi Kementerian Perdagangan.
“Sejak tahun 1995 sampai 2017, DPP telah menangani 295 kasus dumping, subsidi, dan safeguard. Tapi, lebih sedikit kasus yang kita menangkan daripada yang kita kalah. Di Indonesia kita memang masih kekurangan pengacara perdagangan yang kompeten serta spesialis dalam perdagangan internasional,” tutur Pradnya.
Karena itu, melalui kegiatan DPP Goes to Campus, ia berusaha membangkitkan minat mahasiswa UGM terhadap bidang perdagangan internasional dan mulai melirik bidang ini sebagai peluang strategis untuk mengembangkan karier sekaligus berkontribusi bagi kemajuan perekonomian nasional.
“Kami membutuhkan sumbangsih pemikiran dari kampus, dari para mahasiswa ini. Perlu bantuan dari segenap elemen bangsa supaya kita bisa tampil outstanding di tengah panggung dunia, terutama dalam ekspor,” kata Pradnya.
Selain Pradnyawati, dalam kegiatan ini PSPD juga menghadirkan dua pakar dalam bidang perdagangan internasional, yaitu dosen Fakultas Hukum UGM, Prof. M. Hawin S.H., LLM., Ph.D. serta praktisi hukum Erry Bundjamin. Dalam kesempatan ini, Hawin memaparkan perbandingan antara tindakan antidumping, tindakan countervailing, serta tindakan safeguard dalam WTO dari kacamata hukum internasional. Sementara itu, Erry menjelaskan instrumen-instrumen pertahanan perdagangan dalam ranah perdagangan global. (Humas UGM/Gloria)