Jaringan Masyarakat Anti Korupsi Yogyakarta meminta pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik pungutan dan sumbangan pendidikan. Pasalnya, hal tersebut memberatkan rakyat. Demikian salah satu pernyataan sikap yang disampaikan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, Selasa (2/5) di Kantor Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM.
Yuliani dari Persatuan Orangtua Peduli Pendidikan (Saranglidi) menyebutkan pendidikan Indonesia saat ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Meskipun anggaran pendidikan mengalami kenaikan, namun hasilnya tidak sesuai harapan.
“Sistem pendidikan Indonesia sangat carut marut. Anggaran naik, tetapi out put kualitas pendidikan justru semakin menurun, banyak anak-anak putus sekolah dan terbentuk geng-geng remaja nakal,” paparnya kepada wartawan.
Kondisi tersebut terjadi salah satunya akibat biaya pendidikan yang mahal. Selain itu, juga adanya otonomi sekolah yang tidak dibarengi dengan pengawasan dari pemerintah baik daerah maupun pusat.
“Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai kasus korupsi di dunia pendidikan,” katanya.
Untuk mencegah maraknya korupsi, Yuliani menekankan agar pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan pencegahan, pemberantasan, serta penegakkan hukum. Hal tersebut patut dilakukan dalam kasus-kasus korupsi dan pungli di dunia pendidikan Indonesia.
Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rochman, menambahkan perlunya regulasi terkait biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar dan menengah baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun perda. Regulasi yang menegaskan bahwa tidak diperbolehkan lagi mengenakan pungutan biaya pendidikan mulai tingkat SD hingga SMA.
“Tidak boleh lagi ada pungutan sebagai konsekuensi dari dijalankannya wajib belajar 12 tahun di Indonesia. Harus ada penegakan dan sanksi yang tegas terhadap sekolah yang masih melakukan pungutan atau sumbangan yang memaksa,” tuturnya
Disamping itu, juga menolak tegas adanya pungutan yang dilegalkan melalui peraturan Permendikbud. Zaenur menyampaikan bahwa pungutan tersebut bertentangan dengan UU Sisdiknas, pasal 34 ayat 2 yang menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Selain itu, pungutan pendidikan juga tidak sesuai dengan PP Wajib Belajar, PP Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan, serta Permendikbud Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar.
“Kami juga meminta pemerintah merevisi PP Pendanaan Pendidikan karena pada pasal 51 ayat 4 c bertentangan dengan UU Sisdiknas,”tegasnya.
Sementara itu, Tenti Novari Kurniawati dari Institute of Development and Economic Analysis (IDEA) menegaskan pentingnya tata kelola yang baik dalam pengelolaan dana pendidikan. Seperti diketahui alokasi dana pendidikan dalam APBN tahun 2016 sebesar 419,2 triliun sehingga diperlukan tata kelola yang baik agar kualitas pendidikan yang dihasilkan semakin meningkat.
“Minimal 20% APBN di sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD harus digunakan dengan sebaik-baiknya sehingga hak dasar warga negara dalam hal pendidikan dapat dipenuhi tanpa kecuali,”tambahnya. (Humas UGM/Ika)