Universitas Gadjah Mada membangun pabrik coklat di Segayung Utara, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pencanangan pembangunan pabrik dilakukan Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D pada Sabtu (6/5), ditandai dengan penandatanganan prasasti disaksikan para wakil rektor, dekan, dan wakil dekan kompleks agro dan jajaran manajemen PT. Pagilaran.
Dr. Rahmat Gunadi, Direktur Utama PT. Pagilaran, mengatakan keinginan membangun pabrik coklat di Segayung Utara merupakan keinginan lama PT. Pagilaran. Dengan prinsip socioentrepreunership PT. Pagilaran bersama-sama ingin menyejahterakan petani kakao.
“Ini yang harus kita bangun dalam bisnis, membalik cara berpikir lama yang biasanya kita memproduksi baru dijual, namun kini kita harus punya visi memproduksi apa yang kemudian dijual,” ujar Rahmat Gunadi.
Rahmat Gunadi menjelaskan dengan membangun pabrik coklat dipastikan produksi di bagian hulu mendapat jaminan pasar. Sebab, dalam bisnis pertanian dan perkebunan yang menentukan harga bukanlah produsennya melainkan pasar.
“Dengan adanya kepastian ini, kita berkomitmen membeli dengan harga yang baik dalam program kemitraan. Dengan begitu maka kawan-kawan yang bekerja di hulu terbantukan, mereka akan memiliki nilai tukar lebih baik dibanding jika harus jual ke pasar secara konvensional,” ucapnya.
Pembangunan pabrik coklat di Segayung, Batang, akan diberi nama Pusat Pengembangan Kompetensi Agribisnis Kakao Terpadu. Berbeda dengan pabrik coklat pada umumnya, pabrik coklat yang dibangun UGM berada di tengah kebun kakao dan dikelilingi para petani plasma.
Pembangunan pabrik coklat berada di areal seluas 2,8 hektar dengan bangunan fisik seluas 4000 meter persegi dan berada di tengah perkebunan seluas 165 hektar. Pembangunan yang direncanakan menghabiskan dana 105 milyar rupiah dari Kementerian Perindustrian ini di tahun 2018 diharapkan sudah berproduksi.
“Tahap pertama di tahun 2018 kita harapkan sudah rampung, nantinya akan kita lengkapi dengan fasilitas pendukung berupa agrowisata untuk pemberdayaan UKM dalam bentuk shelter-shelter usaha,” kata Rahmat Gunadi.
Menurut Rahmat Gunadi, banyak keuntungan diraup dengan membangun pabrik coklat. Ia menyebutkan terdapat perbandingan harga sangat berbeda antara menjual kakao mentah dan olahan. Sebagai gambaran, saat ini menjual biji kakao paling tinggi 30 ribu rupiah per kilo, namun jika dalam bentuk coklat butter bisa di atas 6 dolar per kilo.
“Tapi untuk awal kita akan menghasilkan dulu coklat liquor baru nanti diharapkan berkembang ke coklat butter. Yang pasti untuk produk-produk dalam bentuk powder harga sejelek-jeleknya bisa didapat setara biji kakao low materialnya,” paparnya.
Dengan mulai beroperasinya pabrik di tahun 2018 nanti, Rahmat Gunadi tidak menampik kemungkinan membuka kran impor kakao dari luar. Dengan operasional pabrik per hari, diperkirakan perkebunan kakao di Segayung tidak akan mampu memenuhi kebutuhan.
“Itupun mungkin kita sudah mendapat suplai dari perkebunan kakao di DIY, Jateng, Jatim, Sumatera Barat dan Sulawesi. Dengan perencanaan 8.000 ton per tahun, sementara dari kebun sendiri dan petani sekitar paling hanya 165 ton per tahun,” tandasnya.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, menambahkan PT Pagilaran milik UGM dengan pabrik dan kebun teh maupun kakao ini merupakan bentuk UGM Teaching Industry dengan spirit socioentrepreneur.
“Dengan dukungan sivitas akademika UGM dalam penguatan spirit socioentrepreneur ini mendorong lompatan kemajuan UGM dalam teaching industry,”kata Rektor. (Humas UGM/Agung;foto: Adit)