Memiliki hak untuk tinggal selamanya di Jepang tidak menjadikan Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo (46 tahun), memilih pindah kewarganegaraan, sebaliknya ia tetap setia memilih menjadi WNI. Semangat nasionalismenya tetap menyala, ia pun tidak segan segan direpotkan untuk mengurusi perpanjangan paspor dan visanya agar bisa rutin setiap minggu berkunjung ke luar negeri di berbagai negara untuk memenuhi undangan mempresentasikan hasil temuannya. “Jiwa saya tetap Indonesia. Mudah-mudahan umur 55 tahun saya bisa kembali dan mengabdi di Indonesia,” kata Josaphat dalam kuliah umum di Fakultas Geografi UGM, Senin (15/5).
Kini, Josaphat menjadi pengajar dari Chiba University Jepang. Ia bahkan sudah diangkat sebagai pegawai negeri di Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang. Menurutnya, apa yang dilakukannya sekarang ini tidak semata-mata menjadi pengajar namun mengembangkan ilmu yang tengah ditekuninya.
Pemilik ratusan hak paten di bidang radar dan satelit ini sudah dikenal di Jepang bahkan karyanya sudah dimanfaatkan di ratusan negara di seluruh dunia. Temuannya mengenai teknologi radar dan satelit yang lebih maju dari yang ada sekarang banyak dilirik oleh perusahaan besar dunia. Beberapa hasil temuannya mengenai synthetic aperture radar, Ground penetrating radar, mobile satellite communication, microsatellite, sudah dimanfaatkan banyak perusahaan dan bermanfaat besar bagi banyak orang. Namun, Josaphat mengakui apa yang didapatkannya sekarang ini sebagai bentuk apresiasi atas ketekunannnya mengembangkan teknologi yang sebelumnya dipandang mustahil diwujudkan waktu itu. “Saya masih ingat, waktu itu masih umur 35 tahun, saya perlu dana 15 milyar untuk wujudkan temuan saya ini. Saya hanya punya 300an juta, ketika itu saya pikir, bagaimana mewudukan barang yang bisa orang lain lihat dan raba. Jika orang lain puas, artinya saya sudah bantu orang lain juga,” kenangnya.
Dikarenakan hasil temuan paten Jospahat bermanfaat bagi banyak perusahaan, ia banyak didatangi oleh pemerintah dan perusahaan untuk kerja sama. Bahkan, tidak sedikit yang menawari bantuan dana untuk merealisaikan setiap ide risetnya.
“Saat ini saya tidak cari pekerjaan, malah saya ditawari pekerjaan, banyak perusahaan besar kejar-kejar saya,”ungkapnya.
Josaphat menceritakan ia memiliki pusat riset di kampus Chiba University. Menurutnya, apabila kini hasil risetnya dimanfaatkan oleh perusahaan dan pemerintah dari negara lain tidak lain dari hasil ketekunannya selama puluhan tahun mengembangkan teknologi radar sejak 1995. Di pusat laboratoriumnya, ia mempekerjakan 50 orang peneliti. Sebagai gambaran, satelit yang dikembangkan Josaphat harganya jauh lebih murah dari harga satelit yang dijual di pasaran. “Bayangkan satu satelit harganya bisa sampai 4-5 triliun rupiah, di tempat saya harganya hanya 25 milyar dan fungsinya lebih bagus dari yang mahal-mahal itu,”ujarnya.
Meski sudah memiliki segudang prestasi dan dipandang sebagai ilmuwan terkemuka di Jepang untuk bidang teknologi radar dan satelit super canggih, Josaphat tetap bersikap rendah hati. Menurutnya, tidak ada teknologi yang maju dan mutakhir sebab yang membedakan hanyalah soal ketidaktahuan saja. “Teknologi yang dianggap maju sebenarnya teknologinya sangat sederhana tergantung tahu dan tidak tahu,”terangnya.
Untuk mendapatkan semua ide dari hasil temuannya, Josaphat memberi sedikit bocoran. Menurutnya, setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan ide dan pemikiran baru. ”Berikan kesempatan otak kita untuk berpikir sejenak tentang hal-hal yang baik dan baru sehingga otak kita terlatih,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)