Permasalahan sosial dan ekonomi di Yogyakarta berkembang seiring dengan perubahan arah pembangunan Yogyakarta. Meski mampu meningkatkan jumlah wisatawan, banyaknya pembangunan hotel, mal, penginapan dan apartemen di Yogyakarta telah memicu kemacetan lalu lintas mirip Jakarta. Belum lagi konflik sosial antar kelompok kepentingan, ketegangan antara investor dengan warga masyarakat, dan berbagai persoalan lain yang muncul menjadi salah satu tanda masyarakat Yogyakarta sedang mengalami perubahan.
Termasuk pembangunan New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) dan jalan tol baru di Yogyakarta. Semua pembangunan tersebut tentu akan banyak memengaruhi masyarakat Yogyakarta nantinya, sementara kondisi sosial ekonomi Yogyakarta menurut data BPS cukup menyedihkan. Data kemiskinan menunjukkan Yogyakarta merupakan kota termiskin di Pulau Jawa. Indeks Gini Ratio untuk mengukur ketimpangan, Yogyakarta termasuk tertinggi di Indonesia, di atas rata-rata nasional.
“Meski begitu Indeks Pembangunan Manusia bagus, angka harapan hidup di Yogyakarta paling lama, angka pendidikan juga paling lama, angka kesehatan dan kematian ibu dan anak paling rendah. Ini menunjukkan di Yogyakarta ada yang sedang berubah,” ucap Dr. soc.pol. Agus Heruanto Hadna, M.Si, di PSKK UGM, Senin (15/5) menjelang pelaksanaan Seminar Ayo mBangun Jogja dalam rangka HUT ke-44 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Menurut Agus Heruanto, Yogyakarta di atas tahun 2000an mengalami perubahan sosial yang cukup sgnifikan. Hal tersebut dikarenakan adanya reformasi yang membawa isu-isu demokrasi dan berpengaruh besar dalam bidang desentralisasi daerah. Pengaruh tersebut membawa juga perubahan pada peta sosial dan politik masyarakat. Ditambah lagi, pengaruh ekonomi global dan kemajuan di bidang informasi dan teknologi.
“Ini pemicu yang saya kira perlu kita respons. Masyarakat Jogja dalam pikiran kita sedang mencari titik keseimbangan atau equilibrium secara sosial ekonomi sebagai pemicu akibat perubahan-perubahan tadi. Jadi, anomali-anomali, seperti kemiskinan yang tinggi, gini ratio juga tinggi, tapi di sisi lain human development kita bagus, anomali-anomali tersebut merupakan bagian dari proses bahwa masyarakat Jogja lagi mencari equilibrium,” katanya.
Persoalan penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Yogyakarta yang sangat lamban, kata Agus Heruanto, mengharuskan sinergi 5 komponen, yaitu Kantor, Kampung, Kampus, Kraton dan Konglomerasi perlu ditingkatkan. Menurutnya, sinergi kelima komponen tersebut hingga kini belum memberikan hasil yang maksimal.
Seminar Ayo mBangun Jogja akan digelar pada hari Selasa, 16 Mei 2017 di Auditorium PSKK UGM dengan menghadirkan 4 narasumber Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X , Wakil Gubernur, Sri Paduka Paku Alam X, Rektor UGM terpilih Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng dan Drs. H. A. Hafid Asrom, M.M, pengusaha dan anggota DPD RI.
“Dalam kesempatan ini, Sultan nantinya kita harapkan meresmikan Videotron Population Clock yang ada di PSKK. Videotron ini menampilkan data jumlah data penduduk dunia, Indonesia dan Jogja per detik,” ujar Agus Heruanto.
Peneliti PSKK, Dr. Umi Listyaningsih, menambahkan ketika pembangunan hanya berbasis pada Informasi Teknologi (IT) dan ekonomi maka yang terjadi adalah ketimpangan dan sebagainya. Lain halnya kalau Jogjakarta membangun dengan berbasis pada budaya, yaitu dengan meletakkan budaya sebagai pilar utama.
“Maka ketika mengembangkan wisata pun, tentunya wisata budaya. Sehingga sebenarnya budaya menjadi kata kunci dalam membangun Jogja. Karena itu seminar ini nanti akan melihat Kraton menjadi peran yang sangat penting dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan yang mengikat. Sebab, bagaimanapun juga Jogjakarta miniaturnya Indonesia,” ungkapnya. (Humas UGM/ Agung)