Penyakit kardiovaskular masih menjadi penyakit mematikan di dunia. Data WHO menunjukkan pada tahun 2005 terdapat 17,5 juta orang di berbagai belahan dunia meninggal setiap tahunnya akibat penyakit kardiovaskular. Bahkan, kematian akibat penyakit ini memberikan kontribusi hingga sepertiga kematian global.
“Sementara di Indoensia sendiri prevalensi penyakit jantung koroner pada tahun 2013 mencapai 2.650.000 orang (1,5%),” kata Prof. Dr. Dr. Budi Yuli Setianto, Sp.PD-KKV. Sp.JP(K), saat menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar, Rabu (17/5) di Balai Senat UGM.
Budi Yuli menyampaikan bahwa segala usia memiliki risiko menderita penyakit kardiovaskular, termasuk anak-anak. Selain itu, 80 persen beban penyakit ini adalah negara berpenghasilan rendah dan menengah.
“Tahun 2020 mendatang diproyeksikan penderita penyakit kardiovaskular akan meningkat melebihi angka 23,4 juta jiwa,”tutur pakar kardiologi Fakultas Kedokteran UGM ini..
Selain itu, penyakit jantung dan stroke akan menjadi penyebab utama kedua kematian dan kecacatan di dunia. Budi Yuli menyebutkan Cina menjadi negara dengan angka kematian tertinggi akibat penyakit kardiovaskular. Sementara angka kematian akibat penyakit jantung koroner di Indonesia berkisar antara 100.000-500.000 setiap tahunnya.
Menurutnya, layanan kardiologi intervensi di era pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain rendahnya kesadaran pasien dan dokter pada kardiologi intervensi, tidak adanya registri dan jaringan IMA-EST nasional serta registri cath-lab dan jaringan IKP nasional, keterbatasan fasilitas, ketersediaan obat serta alat diagnostik. Selain itu, juga distribusi yang tidak merata dari dokter terlatih spesialis penyakit jantung.
“Hingga 2015 jumlah cath-lab di Indonesia baru 199 buah tersebar di 171 rumah sakit. Sedangkan jumlah dokter spesialis penyakit jantung sampai 2016 hanya 850 orang,”urainya
Tantangan lain seperti ketidakpercayaan diri dokter umum dalam mengelola pasien sindrom koroner akut masih banyak terjadi. Ditambah dengan tidak adanya sistem rujukan pasien terpadu dan layanan terpadu EMS. Jaminan pendanaan kesehatan nasional pun lebih rendah dari biaya sebenarnya.
Untuk mengurai persoalan tersebut, Budi Yuli mengatakan perlu upaya untuk meningkatkan target cakupan BPJS Kesehatan bagi semua warga di tahun 2020. Selain itu, disertai dengan peningkatan jumlah rumah sakit pusat pelatihan kardiologi intervensi dan peningkatan rumah sakit dengan fasilitas cath-lab hingga 220-250 rumah sakit. Disamping itu, dengan meningkatkan target kardiologi intervensi baru sekitar 30-35 prang per tahun.
“Saat ini dengan 9 RS pusat latihan hanya bisa menghasilkan 12-15 orang kardiologi intervensi,”ujarnya.
Langkah lain dengan mengembangkan jaringan IMA-EST dengan registri SKA. Tidak ketinggalan perlu upaya mengembangkan registri IKP nasional.
“Mengembangkan stent berkualitas degan harga yang terjangkau di masyarakat seperti INA-Stent sebagai hilirisasi hasil penelitian UGM,”urainya. (Humas UGM/Ika; foto:Bani)