Perkembangan teknologi dan digitalisasi telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia di berbagai negara, termasuk dalam ranah hubungan antarnegara beserta aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Kondisi ini menuntut pemerintah untuk mengubah strategi dalam menentukan kebijakan luar negeri Indonesia. Wakil Menteri Luar Negeri RI, Abdurrahman Mohammad Fachir, menyatakan bahwa kegiatan diplomasi kini harus mampu menjawab tantangan-tantangan digital.
“Perkembangan digital telah menciptakan sumber informasi baru dan tantangan paradox of plenty. Diplomasi harus mampu merebut ruang informasi publik dan menyajikan informasi secara cepat, tepat, dan benar,” ujarnya Rabu (17/5) di Fisipol UGM.
Hal ini ia sampaikan saat menghadiri kegiatan Experts Meeting on Digital Diplomacy, acara yang diselenggarakan atas kerja sama antara Kementerian Luar Negeri dengan Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM. Kegiatan ini, menurut Fachir, merupakan salah satu bagian dari upaya Kemenlu untuk menjangkau semua pemangku kepentingan sekaligus meningkatkan relasi serta memperoleh masukan informasi yang bermanfaat.
“Saat ini, semua orang bisa menjadi pelaku hubungan luar negeri. Harapannya, ketika mereka melakukan hal tersebut bisa sesuai dengan kebijakan pemerintah yang pada dasarnya dijalankan menurut konsensus nasional dan sesuai dengan undang-undang,” paparnya.
Fachir mengapresiasi peran UGM yang telah turut menjadi bagian dalam upaya mempersiapkan diplomat terdidik yang dapat melakukan banyak hal dalam upaya memperjuangkan kepentingan Indonesia serta di saat yang sama dapat memberdayakan partisipasi masyarakat secara keseluruhan. Ia berharap bangsa Indonesia dapat bersama-sama bersinergi untuk menampilkan nilai yang diperjuangkan.
“Saya sangat mengharapkan agar melalui berbagai media yang ada kita dapat bersama-sama menampilkan kepentingan bersama kita, apakah itu dalam diplomasi ekonomi, perlindungan, atau kedaulatan, termasuk bagaimana peran kita di dunia,” kata Fachir.
Senada dengan hal tersebut, Wakil Rektor UGM Bidang Perencanaan, Keuangan dan Sistem Informasi, Dr. Didi Achjari, S.E., Akt., M.Com., menyampaikan bahwa dengan latar belakang multidisiplin yang kuat, UGM memiliki perspektif yang cukup lengkap untuk mengatasi berbagai isu yang ada. Selain itu, sebagai kampus socio-enterpreneurship, UGM juga dapat berkontribusi dalam memberikan alumni-alumni terbaik yang memilki sifat inovatif dan kreatif sehingga dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam menjalankan diplomasi.
“Melalui pendekatan multidisiplin, UGM dapat mendukung Kemenlu agar dapat menjadi corong pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat serta menjadi corong kebijakan yang menjaga reputasi dan kedaulatan bangsa, termasuk di dunia maya,” jelas Didi.
Pertemuan yang berlangsung di Convention Hall Fisipol ini berlangsung dalam dua sesi, yakni sesi pleno serta sesi working group. Masing-masing working group membahas tentang konseptualisasi diskursus, evaluasi, serta masa depan diplomasi digital Indonesia. Sekitar 30 pakar di bidang diplomasi dan teknologi informasi komunikasi serta lebih dari 100 praktisi yang terdiri dari pengamat, konsultan, akademisi, public figure, serta diplomat asing dari negara-negara sahabat turut hadir dalam pertemuan ini.
Hasil diskusi di dalam setiap working group ini kemudian dirangkum menjadi rekomendasi kebijakan yang diserahkan kepada Kementerian Luar Negeri untuk menjadi rujukan dalam memetakan kebijakan terkait diplomasi digital. Melalui kegiatan ini, diharapkan dalam waktu mendatang akan ada lebih banyak diplomat serta duta besar yang memanfaatkan kemajuan teknologi demi memaksimalkan pencapaian kepentingan nasional Indonesia di masa yang akan datang.
“Kami berkomitmen untuk terus membantu menyelesaikan persoalan terutama terkait masyarakat digital. Harapannya, output dari kegiatan ini bisa menjadi rekomendasi kebijakan strategis pemerintah,” ujar Wakil Dekan Fisipol Bidang Kerja Sama Alumni, dan Penelitian, Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, M.P.P, M.Sc. (Humas UGM/Gloria)