Pemerintah perlu memberikan perhatian dan perlindungan serius terhadap sistem pengolahan pangan baik dari sisi produksi maupun tingkat konsumsi. Pasalnya, laju perubahan lahan pertanian ke nonpertanian semakin bertambah, sementara lahan pertanian produktif makin terbatas, sedangkan jumlah penduduk makin terus bertambah. “Semakin terbatasnya lahan pertanian sekitar 50 ribu hingga 100 ribu hektar lahan yang hilang setiap tahunnya di Indonesia,” kata Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam pidato sambutan yang dibacakan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY, Ir. Arofa Noor Indriani, M.Si., pada Seminar Nasional penerapan bioteknologi pertanian dan kontribusi bagi ketahanan pangan di Indonesia, Selasa (23/5) di auditorium Fakultas Pertanian UGM.
Dikatan Sri Sultan, untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih 237 juta jiwa penduduk setidaknya dibutuhkan sekitar 13 juta lahan padi produktif. “Namun, lahan padi yanga ada saat ini hanya 7,7 juta hektar, jika dihitung pertambahan penduduk sekitar 1,9 persen tiap tahun tentu akan menghadirkan permasalahan sosial soal pangan,” katanya
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya khusus untuk meningkatkan produksi bahan pangan nasional dengan meningkatkan priduktivitas lewat penerapan teknologi secara intensif salah satunya lewat benih unggul. “Sampai saat ini benih unggul sebagai solusi untuk mendapatkan varietas baru lewat hibridisasi berbagai keragaman genetik mengatasi berbagai permasalahan tanaman pangan,” katanya.
Benih unggul yang dikembangkan tersebut tidak lepas dari peran bioteknologi lewat teknologi persilangan. Sampai saat ini pemanfaatan bioteknologi untuk kultivar unggul padi sangat diperlukan untuk pemenuhan pangan masyrakat perlu mendapat perhatian serius, meski teknologi tetap mendapat penolakan dari sebagian kelompok masyarakat. Namun demikian, diperlukan sikap kehati-hatian untuk menghasilkan produk pangan dari hasil teknologi rekayasa genetik tersebut.
Dikatakan Sri Sultan, salah satu produk bioteknologi di tanah air saat ini adalah pengembangan tanaman jagung transgenik yang dinilai berkualitas, tahan serangan hama sehingga mampu mengurangi penggunaan pestisida. “Dari aspek bioteknologi justru mendatangkan manfaat bagi manusia,” katanya.
Direktur Indonesian Biotechnology Information Centre (IndoBIC), Bambang Purwantara, mengatakan sudah saatnya pemerintah memperhatikan persoalan pengembangan bioteknologi di bidang pangan seiring kebijakan pemerintah yang mengurangi ketergantungan pada impor pangan. “Impor kita lihat sudah mulai berkurang, seharusnya pengembngan penerapan bioteknologi pangan,” ujarnya.
Menurutnya, pengembngan bioteknologi pangan saat Inondesia sat ini jauh tertinggal dibanding dengan Filipina dan Vietnam. Padahal sebelumnya Indonesia sebelumnya telah lebih dulu memulainya lewat pengembangan bioteknologi kapas transgenik. “Kita dulu pernah melakukan bioteknologi kapas biji, sudah dimulai dari di awal, mandeg, produk sekarang dikembangankan tebu lahan kering, kita harapkan bisa ditanami di bagian Indonesia timur yang lahan kering mengatasi impor gula.
Selain tebu, beberapa daerah menurutnya juga sudah mencanangkan swasembada jagung dengan menerapkan benih hasil pengembangan bioteknologi. “Antara tebu dan jagung secara bersamaan diaplikasikan,” katanya.
Salah satu persoalan yang dihadapi dalam pengembngan bioteknologi pangan menurut Bambang adalah lamanya proses pengusuulan hingga persetujuan sehingga produk hasil bioteknologi tersebut lambat dan lama untuk diaplikasikan di masyarakat. “Bahkan bioteknologi kadang sering disalahmengertikan sebagian pihak. Bayangkan untuk produk tebu ini sudah lima tahunan prosesnya, sementara jagung sudah hampir sepuluh tahun dari mulai pengusulan sampai disetujui, karena penuh kehati-hatian,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)