Teknologi pangan memiliki peran yang besar dalam mewujudkan ketahanan pangan, termasuk kedaulatan pangan. Dengan teknologi pangan ini dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap ketersediaan pangan, distribusi pangan, aksesibilitas pangan dan konsumsi pangan berkualitas.
“Dengan teknologi pangan, bahan pangan dapat menjadi lebih awet, mempunyai nilai tambah, mudah diakses, menjangkau pasar yang lebih luas, mengurangi susut atau kehilangan panen, meningkatkan cadangan pangan dan ketahanan pangan,” kata Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr, di Balai Senat, Selasa (23/5).
Djagal Wiseso Marseno mengatakan hal itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Teknologi Pangan pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Dalam pidatonya berjudul Teknologi dan Geopolitik Pangan, Djagal menandaskan paradigma baru pembangunan pangan Indonesia harus berbasis pada pemahaman mendalam terhadap geopolitik Indonesia.
Dengan pemahaman tersebut, kata Djagal, diharapkan mampu mengatasi fenomena paradoks di Indonesia. Menurutnya, Indonesia memiliki seluruh persyaratan sebagai negara agraris, yaitu memiliki kondisi geografis, kondisi demografis dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun justru memiliki ketahanan pangan yang relatif rendah dan impor pangan yang besar dalam kurun waktu yang lama.
“Diperlukan pemahaman yang mendalam tentang geopolitik bangsa dan negaranya dalam menghasilkan pangan. Pembangunan bidang pangan di Indonesia mestinya memperhatikan geopolitik pangan yang memiliki delapan dimensi, yaitu geografis, demografis, sumber kekayaan alam, ideologis, politis, ekonomis, sosial budaya dan dimensi pertahanan dan keamanan,” katanya.
Untuk itu, kata Djagal, seorang ahli teknologi pangan juga harus mengetahui tentang geopolitik pangan. Seorang ahli teknologi pangan mampu mengenal bangsa dan geografis negaranya dalam rangka menghadapi tantangan dan ancaman geopolitik pangan dari luar maupun hambatan dan gangguan dari dalam.
Menurut Djagal dengan berkembangnya peradaban dan pemahaman terhadap hukum dan hak asasi manusia maka penguasaan suatu negara terhadap negara lainnya tidak lagi menggunakan kekuatan fisik (hard power), tetapi dalam bentuk penguasaan nonfisik (soft power). Misalnya, regulasi atau penanaman modal melalui organisasi internasional. Salah satu contoh adalah World Trade Organization (WTO) yang dijadikan instrumen untuk menyalurkan aspirasi geopolitik pangan negara tertentu terhadap negara lain.
“WTO mengharuskan bahwa total subsidi pemerintah terhadap sektor pertanian bagi negara berkembang hanya sebesar 10 sampai 15 persen dari total subsidi APBN, sedangkan negara maju diperbolehkan melakukan subsidi yang lebih besar,” tuturnya.
Geopolitik pangan bangsa asing terhadap Indonesia juga ditunjukkan dalam bentuk kepemilikan saham industri pangan dan pertanian dalam jumlah besar. Saham asing pada industri air minum dalam kemasan (AMDK) merek Aqua mencapai 74 persen, AMDK Ades (100 persen), rokok kretek Dji Sam Soe (100 persen), Kecap/ Sirup/ Saus ABC (65 persen), teh Sariwangi (100 persen), Kecap Bango (100 persen), makanan ringan Taro (100 persen), susu/ makanan bayi SGM (82 persen) dan biskuit Helios/Nyam Nyam (100 persen).
“Hal ini dimungkinkan karena besarnya kepemilikan modal asing terhadap bidang usaha pangan dan pertanian di Indonesia mencapai 95 persen, seperti sudah diatur dalam peraturan presiden,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)