UGM kembali menggelar Kongres Pancasila IX pada 22-23 Juli 2017 ini. Kongres Pancasila pertama kali diadakan di UGM pada tahun 2009 untuk selanjutnya diselenggarakan bergilir di berbagai perguruan tinggi Indonesia. Kongre ini diikuti berbagai kalangan masyarakat, mulai dari akademisi, praktisi, guru, dosen, hingga insan-insan peduli Pancasila
Mengangkat tema “Jiwa Bangsa: Dinamika, Tantangan, dan aktualisasi di Indonesia”, Kongres Pancasila IX didesain sebagai upaya bersama dalam menjawab tantangan lokal, nasional, dan global berdasar nilai-nilai Pancasila. Tema besar “Jiwa Bangsa: Dinamika, Tantangan, dan aktualisasi di Indonesia” dikuatkan dengan penjabaran dalam lima subtema.Subtema pertama yakni Deradikalisai dan Tantangan Pembudayaan Pancasila di Media Sosial. Subtema kedua yakni Kurikulum Pendidikan Pancasila di Berbagai Jenjang Pendidikan. Sementara itu subtema ketiga yakni Tantangan Pancasila di Bidang Ekonomi, Politik, Sosial, Agama, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan. Subtema keempat yakni Pancasila dan Generasi Muda. Kemudian Subtema kelima yakni Tanggung Jawab Negara dan Masyarakat dalam Mengaktualisasi Pancasila.
Pada hari pertama kongres, ada dua panel diskusi yang dibahas yakni Pancasila dan Tantangan Dunia pada panel pertama dan Deradikalisasi dan Pembudayaan Pancasila di panel yang kedua. Pada panel pertama diskusi menghadirkan dua pembicara kunci yakni Dr. Agus Maftuh Abegebriel (Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Kerajaan Saudi Arabia) dan Prof. Imam Suprayogo (Mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang).
Pada kesempatan itu, Agus menyampaikan berbagai tantangan yang dihadapi Pancasila. Menurutnya, tantangan Pancasila saat ini sengaja diglobalkan bukan mengglobal. Menurutnya saat ini telah ada tanda atau bukti adanya thaghutizing Pancasila dan NKRI. Istilah thaghutizing tersebut merujuk pada tindakan men-thaghut-kan, mengharamkan, mensyirikkan, dan memusyrikan Pancasila dan NKRI.
“Saat ini ada ideologi vulgar yang menghajar Pancasila terang-terangan ada di depan kita,” ujar Agus.
Ada sebuah saran yang diusulkan oleh Agus untuk menghadapi ideologi kekerasan yakni dengan melakukan 4D (Deny, Diminish, Defeat, and Defence). Menurut Agus, pertama-pertama harus ada tindakan tegas yang menolak (deny) adanya ideologi kekerasan. Selanjutnya persempit gerakan dari ideologi tersebut (diminish). Langkah selanjutnya yakni defeat yakni menaklukkan jaringan ideologi tersebut.
“Langkah keempat yang kita bisa lakukan untuk menghadapi kekerasan adalah dengan defence, yakni mempertahankan nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki,” jelas Agus. (Humas UGM/Catur;foto: Firsto)