Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM baru saja mengadakan Seminar Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian 2017. Seminar tersebut merupakan wadah bagi para akademisi, peneliti, pemerhati, dan pemerintah, serta masyarakat untuk menyampaikan segala gagasan dan temuan terkait inovasi teknologi bidang pertanian. Mengusung tema “Keberlanjutan Agribisnis Indonesia di Era Globalisasi: Liberalisasi atau Proteksi?,” seminar tersebut menghadirkan beberapa pembicara ahli dalam beberapa bidang.
Pembicara yang hadir di seminar yang diselenggarakan pada Sabtu (29/7), yakni Ir. Sunarso, M.Si. (Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia), Ir. Abdullah Firman Wibowo, M.M. (Direktur Utama BNI Syariah), Prof. Dr. Ir. Dwijono Darwanto, M.S. (Guru Besar Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM), dan Prof. PM Laksono (Guru Besar Antropologi FIB UGM).
Dwijono mengatakan saat ini baik di tingkat lokal maupun nasional, penetrasi perekonomian global telah menciptakan momen yang janggal dan aneh. Hal itu dikarenakan belum ada kesepakatan jelas yang dibuat pihak terkait.
”Seharusnya semua pihak, petani, rakyat, pemerintah, dan pengusaha yang memiliki momen itu memiliki hak untuk maju serta menerima manfaat sesuai sumbangan mereka masing-masing,” jelas Dwijono. Akan tetapi menurut Dwijono, saat ini rakyat dan petani yang memproduksi beras, misalnya malah terpinggirkan oleh pemerintah yang memproduksi regulasi dan pengusaha yang memproduksi jasa.
Sementara itu, Sunarso mengatakan salah satu persoalan pertanian saat ini yakni hendak dibawa sektor pertanian, liberalisasi atau proteksi. “Tantangan sebenarnya adalah pengambil kebijakan harus menetapakan di titik mana proporsi paling setimbang antara liberasasi dan proteksi,” ujar Sunarso.
Ia juga mempertanyakan kemampuan petani yang bercocok tanam skala kecil dan minim teknologi yang harus diadu melawan perusahaan dengan bercocok tanam skala luas (hampaaran) dengan full mekanikasi. “Apakah petani kita mampu beradu di sistem pasar yang sangat liberal itu?” ujar Sunarso.
Sunarso menjelaskan dalam menentukan titik liberalisai atau proteksi, kita harus mempunyai visi yang jauh untuk mempersiapkan itu. “Pangan kita sebenarnya tidak bisa dilepas ke pasar liberal,” tutur Sunarso. Untuk itu, Sunarso memiliki beberapa usulan menyikapi persoalan tersebut. Salah satu usulannya yakni membentuk badan otoritas pangan nasional.
Usulan lain juga disampaikan oleh Dekan Fakultas Pertanian, Dr, Jamhari, S.P., M.P. yang mengatakan bahwa perlu ditentukan proporsi antara liberalisasi dan proteksi yang jelas dari masing-masing komoditas. Sebab, masing-masing komoditas memiliki tingkat atau batasan liberalisari berbeda-beda satu dengan yang lainnya. “Harus ada aturan yang jelas yang mengatur kapan dan sampai batas mana komoditas itu harus diliberalisasi atau diproteksi,” jelas Jamhari. (Humas UGM/Catur)