Berbicara penyediaan barang publik oleh pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN ataupun perusahaan daerah boleh dikatakan akses pemanfaatan jaringan listrik dari PLN, air bersih dari PDAM, angkutan sampah dan distribusi jamban umum pada wilayah perdesaan di Indonesia relatif belum merata. Secara konseptual, pemanfaatan barang publik akan optimal bila akses tersebut terdistribusi secara merata.
Demikian dikatakan Ni Made Sukartini, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, saat melangsungkan ujian terbuka Program Doktor, di Auditorium BRI Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Senin (31/7). Made Sukartini mempertahankan disertasi berjudul Dua Esai Penyediaan Barang Publik di Indonesia dengan tim promotor Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc, Artidiatun Adji, M.Ec., M.A., Ph.D dan Erlambang Nahartyo, M.Sc., Ph.D., CMA.
Ni Made Sukartini mengungkapkan dalam tataran empiris ditemukan distribusi barang publik relatif tidak terdistribusi secara merata. Wilayah kota dan pusat ibukota relatif mendapat distribusi lebih baik dibanding wilayah yang terletak lebih jauh dari pusat kota.
Di sisi yang lain, kondisi keberagaman sumber daya ekonomi mencerminkan daya beli dan permintaan efektif dari masyarakat. Sementara, keberagaman dalam identitas sosial seperti keberagaman dalam suku dan agama dapat memengaruhi preferensi individu dan kelompok masyarakat dalam menentukan barang publik apa yang akan diprioritaskan untuk dikonsumsi.
“Perbedaan preferensi inilah yang kemudian dapat mengurangi efektivitas pemerintah dalam mendistribusikan akses barang publik,” katanya.
Menurut Ni Made Sukartini, keberagaman ekonomi menjadi faktor yang dominan dalam menyajikan perbedaan akses-akses terhadap listrik PLN, air PDAM, angkutan sampah dan distribusi jamban. Di desa-desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, dan desa tersebut tidak memiliki sumber galian mineral C maka dalam hal distribusi akses barang publik lebih rendah dan kondisi ini tetap berlaku dengan atau tanpa melakukan kontrol pada karakteristik desa, letak desa, serta akses trnsportasi menuju desa.
“Temuan ini memberi indikasi bahwa desa-desa pertanian di Indonesia identik dengan barang publik yang lebih rendah dibanding desa non-pertanian. Temuan ini pun mendukung studi yang pernah dilakukan oleh Beramendi dan jensen di tahun 2015,” katanya.
Oleh karena itu, untuk desa-desa yang terletak di kawasan hutan, punggung bukit, pegunungan dan daerah aliran sungai, atau daerah-daerah yang masih menggunakan transportasi melalui air, daerah dengan permukaan jalan berupa tanah atau pasir, dan daerah-daerah yang tidak bisa dilintasi sepanjang tahun, tentu akan mengalami perlambatan proses pembangunan bila tidak didukung dengan distribusi akses barang publik atau infrastruktur paling dasar seperti PLN, air bersih dan jamban umum. Karena itu, bila faktor kesulitan geografis yang menjadi kendala distribusi akses-akses yang dimaksud maka pemerintah daerah diharapkan dapat mengupayakan sumber daya alternatif yang tersedia di wilayah desa. (Humas UGM/ Agung)