Dalam beberapa tahun mendatang perkembangan teknologi yang semakin pesat akan menghilangkan pekerjaan-pekerjaan yang ada saat ini dan memunculkan pekerjaan-pekerjaan baru. Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah bersama industri dan institusi pendidikan tinggi dituntut untuk mempersiapkan tenaga kerja masa depan, terutama menjelang era yang diprediksi menjadi masa keemasan perekonomian Indonesia.
“Tahun 2030 Indonesia diprediksi akan menjadi perekonomian terbesar ketujuh di dunia, tapi dengan syarat kita harus memiliki tenaga kerja terampil sebanyak 113 juta. Saat ini, kita baru punya sekitar 56 juta, jadi kita harus menambah 57 juta hingga tahun 2030 atau sekitar 3,8 juta tenaga kerja per tahun,” ujar Menteri Ketenagakerjaan RI, M. Hanif Dhakiri, saat memberikan kuliah umum di Sekolah Pasca Sarjana UGM, Rabu (13/9).
Dalam kuliah umum ini, Hanif memaparkan sejumlah tantangan dalam perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia serta upaya untuk mewujudkan kedaulatan tenaga kerja Indonesia. Isu pengembangan tenaga kerja, menurutnya, perlu menjadi perhatian penting dalam upaya untuk mengalihkan ketergantungan akan sumber daya alam kepada pemanfaatan sumber daya manusia.
“Ini saatnya kita bertransformasi dari mengandalkan SDA menjadi SDM. Dari sisi lingkungan, sumber daya alam sudah banyak rusak dan tidak berkelanjutan, karena itu kita harus sudah bergeser ke SDM,” ucapnya.
Hanif menyebutkan, setidaknya ada 2 persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi Indonesia saat ini. Persoalan pertama adalah apa yang disebut sebagai mismatch dan underqualified worker, yaitu mereka yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki atau pekerja yang memiliki kualitas kompetensi di bawah standar yang dituntut dari pekerjaannya.
“Inilah mengapa lulusan perguruan tinggi pun banyak jadi pengangguran karena maunya kerja bagus, gaji bagus, tapi ternyata kompetensi mereka kurang,” kata Hanif.
Selain itu, persoalan lain yang ia sebutkan adalah working poor atau tenaga kerja yang masih tergolong miskin meski mereka memiliki pekerjaan. Persoalan terkait kualitas tenaga kerja, menurut Hanif, memang patut menjadi sorotan. Ia menggaris bawahi kondisi tenaga kerja Indonesia saat ini yang masih didominasi lulusan SD dan SMP.
“Kalau mau kedaulatan tenaga kerja harus pastikan tenaga kerja kita di atas standar sehingga kompetitif. Tapi, saat ini profil tenaga kerja kita 60 persen lulusan SD dan SMP, mau cari kerja juga susah karena tidak punya keterampilan,” imbuhnya.
Di tengah kondisi ini, menurutnya, langkah yang dapat dilakukan untuk dapat segera mendongkrak kualitas tenaga kerja adalah melalui pendidikan vokasi baik berupa sekolah lanjutan atau berbagai bentuk pelatihan.
“Kebijakan harus diambil dengan melihat konteksnya. Dengan profil seperti ini, terobosannya adalah melalui vokasi. Pendidikan pelatihan vokasi harus menjadi salah satu prioritas nasional agar tingkat penyerapan tenaga kerja meningkat,” jelasnya.
Terkait transformasi ini, ia menekankan agar dalam pengembangan pendidikan vokasi tetap memperhatikan akses serta mutu. Agar solusi ini dapat berjalan, pemerintah tidak hanya perlu meningkatkan jumlah institusi pelatihan secara kuantitas, tapi juga memastikan bahwa pendidikan yang diberikan benar-benar berkualitas serta dapat diakses oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya terpusat di kota-kota tertentu.
Ia menyebutkan empat bentuk pendidikan vokasi yang dapat dijalankan, yaitu melalui pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh pemerintah, pusat pengembangan karier milik perusahaan yang memberikan kesempatan keikutsertaan untuk publik, lembaga pelatihan kerja swasta yang memenuhi standar, serta kegiatan magang yang ditangani oleh instruktur yang kompeten dan ditunjuk oleh pemerintah. Dengan skema ini, diharapkan Indonesia dapat memiliki cukup waktu untuk menciptakan tenaga kerja baru yang berkualitas sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional.
“Saya percaya Indonesia memiliki potensi yang besar kalau pemerintah, industri, dan institusi pendidikan bisa bekerja sama. Banyak hal yang harus dilakukan, tapi kita harus senantiasa optimis masa depan kita baik,” pungkas Hanif. (Humas UGM/Gloria)