Pusat Studi Bioteknologi UGM berhasil mendeteksi lebih cepat virus H5N1 pada manusia. Diagnosis yang dilakukan Pusat Studi Bioteknologi UGM terhadap virus ini, membutuhkan waktu lima jam. Hal ini dapat diketahui dari hasil uji lab hari Sabtu (3/2) dan diulang pada hari Minggu (4/2).
Dari keterangan Kepala Pusat Studi Bioteknologi UGM Prof Dr dr Sutaryo Sp(AK), deteksi terhadap virus H5N1 diperoleh dari pemeriksaan seorang pasien suspect flu burung di RS Sardjito, Yogyakarta. Uji lab ini, kata Prof Taryo, dilakukan dengan melihat dan menganalisis tenggorokan pasien suspect flu burung.
“Hanya dalam waktu 5 jam, seorang pasien yang dianggap suspect flu burung dapat diketahui terinveksi virus H5N1 atau tidak. Ini tentu lebih cepat dari Litbang Departemen Kesehatan di Jakarta,†ujar Guru Besar FK UGM.
Menurutnya, dengan percepatan pemeriksaan ini, berdampak sangat baik bagi penanganan pasien suspect flu burung. Diantaranya, pasien tidak terlalu lama mendapat perawatan di ruang rawat intensif dan pasien mendapat diagnosis dan terapi lebih cepat dan tepat.
“Selain itu, mampu menghilangkan stress psikologis baik yang dirasakan pasien maupun masyarakat umum, demikian juga semakin berkurangnya kebutuhan ruangan, pelayanan medis dan biaya rumah sakit,†tutur Prof Sutaryo.
Sementara dari sisi kesehatan masyarakat, kata Prof Taryo, percepatan diagnosis virus H5N1 pada manusia akan memperbaiki surveilen penyakit, berupa data orang sakit disekitar lokasi KLB (kejadian Luar Biasa). Selain itu, mampu menganalisis dan menentukan kebijakan pencegahan.
Lebih lanjut, Prof Sutaryo menjelaskan, alat yang dipergunakan untuk mendeteksi virus H5N1 pada manusia adalah Light Cycler. Alat ini dilengkapi dengan bahan lain, berupa LightMix, yaitu bahan untuk mendeteksi Asian Influenza A Virus (subtype Asia) H5N1.
“Alat Light Cycler ini adalah pinjaman dari Roche. Sementara bahan yang lain kita harus membeli. Harga alat ini bervariasi, Rp 300 juta, namun ada yang Rp 650 juta. Saya tidak tahu lagi, jika alat ini nanti diambil kembali oleh Roche, bagaimana kelanjutan penelitian di Pusat studi Bioteknologi,†jelas dosen FK UGM.
Jaka Widada PhD mengakui, selisih waktu dengan alat konvensional hanya 1 jam. Meski begitu, Light Cycler memiliki sensivitas dan spesivitas lebih tinggi.
“Dengan konvensional kita hanya mengandalkan bagian yang digunakan untuk memperbanyak DNA, tapi kalau Light Cycler selain ada bagian yang memperbanyak DNA, ditengahnya terdapat juga untuk mendeteksi, melacak sesuai tidak,†ujar Jaka Widada.
Dengan keberhasilan PS Biotek UGM ini, Tri Wibawa PhD berharap, diagnosis cepat virus H5N1 bisa di set up di UGM. Karena, hal ini akan membantu para pasien dan keluarga suspect flu burung. Paling tidak, menurut Tri Wibawa, uji lab tidak harus antri dan menunggu lama dari Litbang Depkes di Jakarta. (Humas UGM).