Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Universitas Gadjah Mada melakukan perpanjangan kerja sama dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Perpanjangan kerja sama ditandai dengan penandatanganan naskah kesepakatan oleh Kepala BATAN, Prof. Dr. Djarot S. Wisnubroto dan Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., di ruang Rektorat, Kamis sore (5/5).
Djarot S. Wisnubroto dalam kesempatan tersebut mengungkapkan hingga saat ini keinginan memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) belum terwujud. Meski begitu, BATAN secara kontinu terus mengembangkan berbagai keilmuan berbasis teknologi nuklir, seperti untuk kesehatan, pertanian, lingkungan, industri dan lain-lain.
“MoU ini menjadi dasar bagi BATAN karena kami terus mengembangkan ilmu, seperti Neutron Capture Therapy, salah satu opsi untuk terapi kanker. Kegiatan seperti ini banyak melibatkan banyak institusi, baik perguruan tinggi, lembaga penelitian maupun BUMN dan swasta, bagaimana mencari solusi penanganan terhadap penderita kanker,” ujarnya.
Bagi BATAN, kerja sama menjadi hal penting untuk dilakukan. BATAN selama ini membuka diri pemanfaatan reaktor yang dimiliki untuk ajang kerja sama penelitian maupun praktikum. Beberapa peralatan milik STTN (Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir), seperti iradiator atau radiografi bisa dimanfaatkan untuk penelitian dan lain-lain.
“Belum lagi, kalau kita berbicara yang di Serpong maupun di Pasar Jumat. Di sisi lain, kita selama ini juga mendapatkan bantuan dari UGM, tenaga ahli atau tenaga pengajar dan lain-lain. Semoga kerja sama ini tetap kontinu,” katanya.
Djarot mengakui yang sering terlupakan adalah teman-teman di perguruan tinggi yang bergerak di bidang sosial. Sementara itu, BATAN saat ini memiliki misi bagaimana mempromosikan nuklir secara bersahabat untuk Indonesia.
“Yang biasa kita prioritaskan adalah soal nuklir untuk pertanian, seperti varietas padi, kedelai dan lain-lain. Dengan bantuan teman-teman dari sosial tentu bisa membantu menjelaskan dan mensosialisasikan apa itu nuklir dengan bahasa yang sederhana,” katanya.
Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., menyatakan keinginan Indonesia membangun PLTN (Pembangit Listrik Tenaga Nuklir) karena berbagai sumber energi yang dimiliki Indonesia semakin defisit. Perkembangan industri akan lamban jika hanya mengandalkan kekayaan energi konvensional dan energi terbarukan.
Diakui, Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan. Meski begitu, untuk mengumpulkan dalam jumlah yang masif bukan persoalan yang mudah karena biayanya sangat mahal.
“Fakultas Teknik UGM pernah menghitung, misalnya seluruh kawasan Indonesia ini ditutup dengan sel surya, tidak akan mencukupi untuk kebutuhan energi bagi industri. Karena itu, satu-satunya jalan atau jawaban untuk memenuhi kebutuhan energi adalah PLTN,” katanya.
Meski ada keinginan membangun PLTN, kata rektor, sebagian masyarakat Indonesia saat ini belum siap. Bukan soal teknologinya, namun ada sebagian kecil dari mereka akan terusik kepentingannya, lalu berusaha sangat kuat untuk memengaruhi masyarakat.
“Ketika Muria rencana mau dibangun, mengapa orang-orang sekitar Kudus kuat sekali menentangnya, misalnya. Bukan karena apa-apa, tetapi jika Muria benar-benar dibangun, tentu akan tumbuh industri-industri karena suplai energinya cukup. Disinilah, bermunculan industri-industri baru yang tentu akan mengancam industri lama, pesaingnya ada, dan menjadikan keuntungan semakin berkurang dan lain-lain,” ungkapnya.
Rektor menuturkan survei terakhir menyatakan 70 persen masyarakat Indonesia setuju untuk pendirian PLTN di Indonesia. Oleh karena itu, tinggal menunggu sikap pemerintah menyangkut persoalan energi ini.
“Targetnya, selain PLTN juga nuklir untuk memperbanyak penggunaan-penggunaan yang lain, seperti untuk kesehatan, pertanian, pengawetan buah-buahan dan lain-lain,” ungkapnya. (Humas UGM/ Agung; foto: Firsto)