Kebijakan penghapusan piutang atas kredit bermasalah belum sepenuhnya bisa ditegakkan secara mandiri oleh para Direksi Bank BUMN karena kekhawatiran ancaman tindak pindana korupsi. Pasalnya, persoalan piutang atas kredit bermasalah masih dianggap tindak pidana korupsi karena perbuatan atau kebijakan yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menetapkan piutang tersebut bukan merupakan piutang negara.
Hal itu mengemuka dalam hasil penelitian mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UGM, Henrikus Renjaan, S.H., L.L.M., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum UGM, Senin (20/11). Penelitian disertasinya yang berjudulnya ‘Pentingnya Implementasi Prinsip Kemandirian Direksi terhadap Prinsip Penghapusan Piutang Bank BUMN di Indonesia’, Henrikus mengatakan penegakkan prinsip pengambilan keputusan bisnis yang umum berlaku bagi sebuah badan hukum berbentuk persereon terbatas harus ditegakkan kembali. Negara, kata Henrikus, sebaiknya memberikan kemandirian penuh pada direksi terkait kebijakan rekstrukturisasi dan penyelesaian kredit bermasalah yang menjadi beban bank BUMN selama ini. “Jika prinsip kemandirian direksi dan prinsi good corporate governance dapat ditegakkan dengan benar maka tidak seorang pun risau terhadap risiko kebijakan korporasi terkait penghapusan piutang bank BUMN,” kata Henrikus.
Ia menambahkan dalam praktik bisnis perbankan apabila terjadi kerugian yang timbul dari kebijakan bisnis dapat dipahami sebagai risiko bisnis dan bukan merupakan sebuah kerugian, namun dengan syarat prinsip good corporate governance (GCG) dan busineee judgement rules sudah dijalankan.
Oleh karena itu, ia merekomendasikan perlu adanya reformasi hukum terhadap konflik norma hukum publik dan privat terkait pengelolaan bank BUMN persero sebagai badan hukum mandiri. Di samping itu, tambahnya, perlu pengaturan lebih tegas terkait pentingnya penerapan prinsip GCG dalam UU khusus atau merevisi regulasi yang sudah ada beserta turunan sanksi hukumnya. “Apabila ini diberlakukan maka bisa memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang mengabaikan arti penting penerapan tata kelola atau prinsip GCG,” katanya.
Meski demikian, kata Henrikus, kebijakan penyelesaian kredit macet bank BUMN juga rentan terhadap potensi terjadinya moral hazard dalam implementasi penghapusan piutang, mengingat setiap tahapan penghapusan sangat rawan disalahgunakan. “Kreditur dan debitur macet bisa saja menggunakan berbagai cara untuk menguasai kembali asetnya,” katanya.
Adapun Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/daerah, menurutnya, tidak cukup memberikan kepastian dan landasan hukum bagi bank-bank pemerintah untuk melakukan penghapusan piutang baik melakukan kebijakan program hapus buku, hapus tagih, atau hair cut sebagaimana yang dilakukan oleh bank-bank swasta lainnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)