Penyakit infeksi masih menjadi masalah serius bangsa Indonesia. Dinamika kehidupan manusia yang selalu diikuti dinamika mikroba penyebab penyakit dari masa ke masa memerlukan pembaharuan dalam rangka upaya mencegah, memahami terjadinya penyakit, memahami interaksi antara manusia dan kuman serta pengobatan penyakit infeksi.
“Tidak dipungkiri lagi bahwa kehidupan manusia saat ini berada di ujung tanduk oleh karena kepintaran manusia membunuh mikroba yang sedang berada pada masa-masa yang kritis”,” kata Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK, di Balai Senat UGM, Rabu (10/1).
Ketua Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM mengatakan hal itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar di Fakultas Kedokteran UGM. Sekretaris Komisi Etik Penelitian FK UGM/RSUP Dr. Sardjito ini membawakan pidato pengukuhan berjudul Implikasi Interaksi Genetika Manusia-Patogen Dalam Manajemen Penyakit Infeksi.
Tri Wibawa menuturkan antimikroba yang sudah menjadi senjata utama dan sudah dimanfaatkan dalam waktu lebih kurang 80 tahun terancam tidak sakti lagi untuk membunuh mikroba. Hal tersebut dikarenakan adanya kekebalan mikroba terhadap obat antimikroba yang dipergunakan selama ini.
“Atau yang sering disebut sebagai antimicrobial resistance (AMR) karena itu diperlukan pemahaman dan pemikiran yang menyeluruh serta tindakan nyata untuk memecahkan masalah ini,” katanya.
Resistensi antibiotika, menurut Tri Wibawa, terjadi karena adanya selection pressure yang terjadi pada saat antibiotika dipergunakan di klinik, hewan ternak, industri rumah tangga dan pertanian. Setiap penggunaan antibiotika berarti menambah terjadinya selection pressure.
Mekanisme ini dapat ditemukan pada pengobatan dengan pemberian antibiotika jangka pendek (tujuh hari) pada pasien dengan febril netropenia. Adapun yang mendasari proses terjadinya resistensi terhadap antibiotika dapat dijelaskan dengan menganalogikan adanya suatu populasi yang terdiri atas dua macam strain bakteri.
Tri Wibawa menjelaskan bakteri yang rentan terhadap antibiotika ditemukan dominan pada populasi tersebut, dan hanya sebagian kecil populasi bakteri memiliki mutasi genetik dan bersifat resisten terhadap antibiotika. Karena itu, pemberian antibiotika dapat berlaku sebagai selection pressure pada populasi bakteri ini.
“Hasil akhirnya terjadi dominasi bakteri mutan yang resisten terhadap antibiotika. Sementara itu, bakteri yang rentan terhadap antibiotika tereradikasi dari populasi tersebut oleh karena pemberian antibiotika. Bakteri resisten ini yang akhirnya dijumpai di dalam tubuh inang, manusia maupun hewan yang pada gilirannya dapat bersirkulasi di lingkungan sekitarnya,” jelas suami Retno Muliawati, ayah dua anak ini.
Di akhir pidato pengukuhan, Tri Wibawa menandaskan interaksi antara manusia dengan mikroba, baik bakteri, virus maupun jamur telah menimbulkan interaksi resiprokal dalam evolusi. Kedua belah pihak mengikuti sendiri jalan evolusi, namun karena keduanya telah hidup bersamaan selama ribuan tahun maka tidak dapat dihindari interaksi keduanya hingga pada tingkat materi genetika sehingga terjadi co-evolution.
“Interaksi ini memiliki implikasi yang luas, yaitu repons imun, patogenesis, kerentanan terhadap infeksi, dan resistensi terhadap antimikroba. Dengan demikian ke depan interaksi antar manusia dan patogen ini selayaknya selalu dipertimbangkan dalam rangka mencegah dan menangani kasus penyakit infeksi,” tandasnya (Humas UGM/ Agung; foto: Firsto)