Kabupaten Sleman dan Gunungkidul berhasil melakukan implementasi penggunaan obat yang rasional (POR) dengan dampak yang bertahan hingga 20 tahun lebih.
Menurut mahasiswa program doktoral Fakultas Kedokteran UGM, Sunartono, pembudayaan menjadi kunci sukses keberhasilan implementasi program ini.
“Kunci sukses keberlangsungan dampak program POR adalah proses internalisasi atau pembudayaan yang sistematis dan konsisten melalui empat tahap dalam satu ungkapan bahasa Jawa, yaitu dipeksa (dipaksa), kepeksa (terpaksa), kulina (terbiasa), dan budaya (membudaya),” ujarnya saat mengikuti ujian terbuka progam doktor, Senin (15/1).
Beberapa permasalahan penggunaan obat yang tidak rasional, antara lain polifarmasi, penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi, penggunaan obat-obat mahal, penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi, penggunaan obat-obat mahal penggunaan antibiotika yang tidak tepat, underdose atau tidak sesuai dengan dosis maupun durasi waktu yang dibutuhkan.
Penggunaan obat yang tidak rasional, ujarnya, merupakan masalah global yang sangat kompleks dan terjadi di negara maju maupun berkembang, dan memiliki dampak yang sangat luas serta merugikan masyarakat dari aspek klinis, psikologis, maupun ekonomi. Karena itu, keberhasilan implementasi POR di Sleman dan Gunungkidul menjadi kasus yang penting untuk diteliti.
“Kasus di kedua kabupaten ini sangat jarang terjadi sehingga penting diteliti untuk eksplorasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi program POR agar dapat dipelajari dan ditiru oleh kabupaten/kota yang lain,” jelas Sunartono.
Intervensi POR di Sleman diawali ketika kabupaten ini dipilih sebagai salah satu daerah uji coba penggunaan obat yang rasional oleh WHO berkolaborasi dengan UGM pada tahun 1990, sementara di Gunungkidul pertama kali dilakukan melalui studi kualitatif oleh Hadiyono dkk dengan metode inter-actional group discussion (IGD) pada tahun 1992 serta oleh Sunartono dan Darminto dengan metode self monitoring.
Pada tahun 2014, polifarmasi di Sleman berkisar 2,75 hingga 3, persentase pasien yang diberi injeksi dari 4,96% pada tahun 1988 menjadi 0.18% pada tahun 2014, dan persentase pasien yang diberi antibiotika dari 49,5% menjadi 13,23%. Sementara itu, polifarmasi di Gunungkidul terpantau turun dari 3,82 menjadi 3,13, persentase pasien puskesmas yang diberi injeksi dari 76% menjadi 0% dan persentase pasien yang diberi antibiotika dari 63% menjadi 24,1%.
Sunartono menambahkan, keberhasilan proses internalisasi POR tidak hanya ditentukan oleh metode yang digunakan karena proses ini hanya dapat terlaksana jika ada komunikasi pada semua jenjang pelaku, antara prescriber di puskesmas dengan manajemen dinkes kabupaten. Oleh karena itu, diperlukan peran pemimpin untuk menjaga komunikasi yang baik dalam organisasi.
“Para pemimpin atau penentu kebijakan sangat diperlukan dalam internalisasi program POR agar kebijakan yang telah ditetapkan dapat diimplementasikan dan menjadi kegiatan rutin organisasi,”imbuhnya.
Berdasarkan hasil studinya, ia memberikan rekomendasi agar pembudayaan program POR dilakukan sejak proses pendidikan sampai dengan unit pelayanan. Program POR, kata Sunartono, sebaiknya menjadi salah satu variabel dalam sistem pembinaan akreditasi unit pelayanan kesehatan.
“Perlu percepatan cakupan dan jangkauan POR dengan peningkatan kapasitas dinas kesehatan kabupaten/kota melalui pelatihan pelatih POR secara berkesinambungan, dukungan sumber daya manusia dan anggaran, membangun sistem informasi obat, pemantauan dan evaluasi secara rutin berkelanjutan, penyediaan insentif dan disinsentif,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)